Rio menggerutu kesal karena Ify tetap pada pendiriannya untuk tinggal di apartemen. Meskipun Lisa sudah meminta bahkan memaksa, tapi Ify tetap menolak dengan halus. Karena, Ify merasa belum pantas tinggal di sana. Hubungannya dengan Rio, hanyalah sebatas sepasang kekasih. Rasanya kurang nyaman bagi Ify jika tinggal di sana. Terlebih, dia masih punya tempat untuk ia tinggali. Dan alasan yang masuk akal itu di terima oleh Lisa. Namun, tidak untuk Rio.
"Sini, biar aku bawa sendiri kalau muka kamu gitu terus."
Ify berusaha mengambil alih kopernya. Mengingat koper itu, Ify tak tahu harus mengucapkan apalagi selain kata terima kasih pada papa Rio. Keluarga pemuda ini, benar-benar seperti penolong baginya. Ify masih mengingat jelas fakta yang terjadi. Oleh karena itu, Ify juga berusaha menerima keadaan yang ada dengan bersyukr. Tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. Tuhan, pasti sudah mengatur semua ini. Atau mungkin kak Nissa meminta pada-Nya untuk menitipkan dirinya pada keluarga orang yang mencelakainya? Sejauh ini, hanya itu yang berusaha Ify pikirkan. Semoga saja benar.
"Kamu kenapa, sih, pengen banget tinggal sendiri?"
Pertanyaan itu lagi. Harus berapa kali Ify menjawab pertanyaan yang sudah lima kali Rio serukan padanya.
"Terus, aku mesti tinggal sama siapa?" tanggap Ify sewot karena Rio menarik koper itu ke belakangnya.
"Rumah aku, cinta."
"Aku nggak mau bikin repot keluarga kamu."
"Kok repot, sih. Nggaklah, sayang. Kamu tuh calon istri aku. Itu artinya kamu juga calon anak mereka."
Ify berdecak. "Calon istri darimana? Kamu ngelamar aku aja belom."
Merasa di tantang, Rio berjalan mendekat dan langsung meraih pinggang Ify dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya masih memegang koper milik gadis itu.
"Mau di lamar pake cara apa?" bisiknya kemudian.
Ify memutar bola matanya malas. Berusaha melepaskan diri dari kurungan. Rio menahannya, dan itu membuat Ify kesal, lalu menghela karena tak mampu melawan tenaga Rio.
"Aku serius sama hubungan kita." Kata Rio menegaskan pada Ify untuk berhenti meragukannya.
"Kamu pikir, aku nggak serius?" Balas Ify.
"Ya, terus apa masalahnya?"
Ify menghela lagi. "Ibaratnya. Aku ini masih orang asing, Yo. Aku sangat peduli pada adat dan juga tata krama di negara ini. Mana pantes, aku yang belum siapa-siapa kamu. Baru pacar-" Tekan Ify ketika Rio ingin memotong ucapannya.
"Tapi udah tinggal satu atap sama kamu,Walau-" lagi, Ify menekankan kata terakhir ketika melihat Rio hendak membuka suara.
"Aku tahu kita nggak cuma berdua. Tapi, tetep aja itu bukan hal yang tepat menurut aku." Lanjut Ify menyelesaikan penjelasannya.
"Udah? Siniin koper aku. Kamu pulang aja kalau masih belum ngerti penjelasan aku."
"Oke, aku pulang! Terserah mau kamu gimana. Mungkin emang aku nggak penting di hidup kamu." Balas Rio setengah membentak. Melepas Ify lalu berbalik menuju mobilnya. Reaksi tak biasa Rio ini membuat dada Ify sesak untuk beberapa saat. Namun tak lama dia berusaha mengerti jika Rio hanya manusia biasa yang pasti merasakan kesal juga. Dengan wajah menyendu, Ify menarik kopernya untuk menuju ke dalam lift.
"Bercanda sayang." Kekeh Rio yang tiba-tiba muncul di hadapan Ify. Pemuda itu baru saja berlari kecil dan berdiri di depannya dengan sebuah cengiran.
"Ih kamu mah!" Seru Ify bete.
Rio tergerlak. "Mau nangis, ya?" godanya melihat wajah Ify yang tampak memerah.
"Nggak lucu, ah. Sebel aku sama kamu." Reflek air matanya mengalir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seputih Rasa (New Version)
Teen FictionSaat aku menatap langit di siang hari, di sana aku bisa melihat terik sang surya menyerang ke dua mataku. Seolah memberi perlindungan pada awan putih agar tak setiap orang bisa menikmatinya dengan jelas. Dan itu membuatku berpikir, mungkin aku jug...