"Itu hanya trauma ringan. Harus ada seseorang yang benar-benar ia percaya. Agar dia mau mendengarkan kata orang itu dan sadar dengan pikirannya yang sama sekali tidak benar."
"Tidak perlu khawatir. Saya yakin, kamu bisa membuatnya sembuh."
Penjelasan dokter itu terus terngiang dalam benak Rio. Ify, kembali terlelap setelah di beri obat penenang. Tidak lagi meraung ketakutan dan sekarang terlihat tenang dengan matanya yang terpejam. Seperti bayi, nafas Ify teratur menikmati tidur nyamannya. Sama sekali tak ada garis ketakutan di sana. Membuat perasaan Rio berangsur membaik dan sedikit bisa menormalkan pernafasannya.
"Mimpi indah, sayang." Bisik Rio, mencium kening Ify lalu bangkit dan menuju sofa untuk mengistirahatkan diri. Dia harus istirahat agar besok bisa lebih kuat lagi menghadapi Ify.
Hingga tak terasa, pagi itu akhirnya tiba. Mendengar adzan subuh, Rio berusaha membuka mata untuk bangun dan segera mengambil air wudhu sekaligus mandi untuk menunaikan kewajibannya. Rio tahu, jika dia bukanlah orang baik yang jauh dari kata dosa. Banyak pula dosa yang sudah ia lakukan. Tapi, meski begitu tidak ada larangan bukan, jika dia berusaha tetap ingin menjalanka salat lima waktunya? Karena Ify pernah berkata, sebagai muslim salat lima waktu itu wajib. Meski pernah bolong dalam sehari, tapi Rio selalu berusaha mengubah kebiasaan buruknya itu. Terbantu dengan Ify yang kadang mengingatkannya. Tentu, jika gadis itu sedang tidak dalam mood yang buruk.
Selesai salat, Rio melipat sajadahnya, lalu ia letakkan di dalam lemari beserta pecinya. Kini, badan Rio terasa lebih segar. Dia berjalan menuju bankar Ify yang masih tertidur dengan lelap. Rio membungkuk, mendekatkan bibirnya di kening Ify. Setelah melafalkan sebuah ayat yang sangat ia hafal, Rio lantas mengusap kening Ify dengan ibu jarinya.
"Aku nggak tahu, Fy. Apa yang aku lakuin ini bener atau salah. Cuma, tiba-tiba inget guru agama dulu pernah bilang. Kalau doa adalah kekuatan yang paling kuat. Jadi, anggap aja itu tadi aku doain kamu biar cepet sembuh."
Rio terkekeh, merasa aneh dengan apa yang baru saja ia lakukan. "Cepet sembuh." Rio tiba-tiba menguap. Kemudian duduk di kursi dekat bankar tempat Ify tertidur.
"Kamu pernah bilang kalau tidur sehabis salat subuh itu nggak baik. Tapi, sumpah aku ngantuk banget. Tidur lagi ya?"
Rio tersenyum kecil mengusap pipi Ify dengan jari telunjuknya. Lalu merebahkan kepalanya, di sisi wajah Ify kemudian tak lama ia terlelap. Berharap dalam lelapnya dia bisa melihat senyum Ify untuknya bersemangat menyambut pagi.
Rio bangun terlebih dahulu. Lehernya terasa pegal sekali saat ini. Seraya melemasakan otot-ototnya yang menegang, Rio menguap, menghilangkan sisa-sisa kantuk yang masih dia rasakan. Rio lantas memutar kepalanya, melihat jam dinding atas pintu masuk. Masih jam tujuh pagi, Rio beralih menatap Ify yang terlihat gelisah ingin membuka mata. Seperti akan menghadap pada malaikat pencabut nyawa, Rio diam melihat reaksi apa pagi ini dengan jantung berdebar kencang dan waspada.
"Yo, kenapa kamu jahat. Kenapa kamu belum buang ularnya. Kenapa kamu nggak mau nolongin aku."
Apa setiap dalam keadaan sadar, Ify harus seperti ini?
Rio kembali menahan nafas, menatap Ify lamat-lamat. Memutar otak dan membuang semua perasaan yang kini menganggunya. Demi kebaikan Ify. Dia harus tegas, membuka mata gadis itu lebar, dan memintanya untuk segera sadar. Tanpa kata, Rio bangkit dari duduknya. Menarik selimut Ify lalu membuangnya ke lantai.
Kedua tangannya terkepal kuat melihat reaksi Ify yang tak jauh beda dari semalam.
"Fy-"
"Nggak. Kamu jahat!" Ify beringsut menjauh. Memeluk tubuhnya sendiri dan melempar kedua tangan Rio di bahunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seputih Rasa (New Version)
Teen FictionSaat aku menatap langit di siang hari, di sana aku bisa melihat terik sang surya menyerang ke dua mataku. Seolah memberi perlindungan pada awan putih agar tak setiap orang bisa menikmatinya dengan jelas. Dan itu membuatku berpikir, mungkin aku jug...