32. Bunda

1.5K 151 92
                                    

"Nggak mau tahu pokoknya. Lo mesti traktir gue makan sepuasnya." Racau Sivia menodong Rio. Tidak terima dengan keberhasilan Rio mendapatkan Ify. Dia merasa di rugikan karena Rio berhasil mencuri sahabatnya.

"Boleh, sih. Tapi nanti aja waktu kita nikah. Di acara resepsi lo bisa makan sepuasnya." Tanggap Rio santai. Dia terkekeh melihat Sivia yang tampak ingin sekali melahapnya. Saat ini dia tengah berada di kiosnya. Sementara Sivia sekedar mampir dan menganggu Rio setelah tadi mengantar Ify ke tempat kerjanya. Tentu saja ada alasan kenapa Sivia menemui Rio. Dia bukanlah sahabat yang akan memakan sahabatnya sendiri.

"Yo, gue mau nanya serius nih sama lo. Jadi tolong, please! Lo jawab yang jujur plus nggak pake ngejayus."

Rio yang tampak fokus pada laptopnya hanya mengangguk. Dia sedang meneliti data keuangan bulan ini. Dan hasil yang cukup baik karena penghasilan bulan ini jauh lebih meningkat di banding bulan-bulan sebelumnya. Ada banyak barang juga harus ia beli. Untuk itu, Rio hanya perlu menghubungi toko langganannya.

"Lo pasti tahu, kan. Kalau sebenernya ada orang yang berniat nyelakai Ify?"

Rio tidak kaget jika Sivia juga mungkin merasakan hal itu. Pasalnya, dia kemarin juga memang tidak banyak bertanya tentang kejadian sebenarnya. Dan sangat wajar jika Sivia merasa ada sesuatu yang mengganjal.

"Gue tahu. Tapi, gue belum bisa pastiin siapa dan apa motifnya." Jawab Rio kemudian termenung. Sebenarnya dia tahu siapa dan apa motifnya, Rio juga bisa menebak. Tapi, Rio tidak mungkin memberitahu semua pada Sivia. Itu seperti akan membongkar satu persatu rahasianya.

"Terus, lo diem aja gitu? Nggak ngelakuin apa-apa? Lapor polisi misal."

Rio kembali sadar dan menoleh pada Sivia. Menghela pelan. Melapor polisi adalah hal yang ingin Rio lakukan. Tapi, dia tidak bisa asal melakukan hal sepenting itu tanpa persiapan apapun. "Nggak ada bukti kuat. Polisi bakal ngetawain kita nanti."

Yang Rio katakan ada benarnya. Sivia meluruhkan bahunya. "Ah kejadian di restoran?"

"Mereka udah tutup kasus itu karena memang bukti yang ada nggak bisa mereka jadiin petunjuk."

"Dasar nggak becus banget jadi petugas." Gerutu Sivia meremas bulpoin yang berada di genggamannya.

Rio sebenarnya bisa memberi rekaman cctv itu pada pihak kepolisian. Tapi, Rio tidak yakin polisi akan kembali mengusut kasus itu hingga tuntas. Terlebih, Rio tidak yakin jika laporannya akan di terima. Karena meski saat itu posisi Ify juga menjadi korban, gadis itu tetaplah di anggap sebagai saksi. Intinya meskipun Rio melapor, mereka tidak akan memberi pengamanan pada Ify.

"Kak Rio. Beli pulsa dong." Sivia langsung menoleh ke samping. Di mana seorang gadis berseragam SMA berdiri di sana. Tak lama gadis itu duduk dengan senyum manis yang mengembang.

"Pulsa apa?"

"Biasa kak." Rio mengangguk paham seraya mengambil ponsel khususnya untuk berdagang dari dalam etalase.

"Nomornya, yang ini?"

Rio menunjukkan layar ponselnya pada gadis itu. Dan gadis itu langsung mengangguk semangat. "Berapa?"

"Seratus, kak." Rio mengangguk lalu menatap ponselya dengan wajah tenang yang memabukkan.

"Kak Rio. Minta nomornya dong, pelit banget. Kan nanti bisa hubungi kakak kalau mau beli. Terus tinggal transfer."

Rio terkekeh mendengrnya. "Udah masuk?" tanya Rio mengabaikan kicauan gadis yang Rio tahu bernama Dinda. Gadis itu adalah tetangga kakeknya. Kebetulan rumahnya berada tak jauh dari kios Rio yang memang tak jauh juga dari rumah kakek.

Seputih Rasa (New Version) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang