7

3K 89 0
                                    

Tok tok tok

"Masuk" mendengar jawaban dari Tovan, gue segera masuk.

"Ngapain lo" tanya Tovan.

"Zee... Marah sama gue" ucap gue lirih.

"Kenapa?" tanya Tovan tenang, gue pikir dia bakal marah sama gue tapi ternyata enggak.

"Gue gk sengaja nemuin foto dia sama cowok yg kemarin gangguin dia, fotonya gue bawa biar bisa nunjukin ke elo karena gue penasaran. Tapi waktu gue sama Zee makan tiba² dia nanyain tentang foto itu dan minta gue buat balikin tuh foto, yaudah foto nya gue balikin lagi tapi malah di buang sama Zee, lebih tepat nya sih dia tenggelamkan. Gue gk tau dia marah atau enggak sama gue soalnya dia gk berekspresi sama sekali, dia gk marah² sama gue tapi bicaranya dingin banget dan tatapannya lebih tajam dari biasanya. Gue gk tau harus mengartikan apa tatapan dia ke gue, kalo emang dia marah kenapa di gak marah² sama gue, dia tetap tenang bahkan sangat² tenang untuk org yg lagi marah. Sepulang nya dari restoran gk ada yg bicara, dia diem aja dan gue juga gk tau harus gimana dengan sikap dia yg kayak gitu, jadi gue lebih milih untuk diam juga" saat gue menceritakan itu semua, Tovan juga tenang² aja, tapi ada yg beda dari tatapannya. Kenapa Zee sama Tovan jadi kek gini sih gue jdi gk tau harus berbuat apa.

Tovan menghembuskan napasnya kasar, gue gk tau kenapa. Gue masih belum terbiasa sama sikap mereka yg seperti itu. Dulu saat gue sama Tovan masih kuliah dia gk kayak gitu, dan dulu dia gk overprotective sama adeknya, tapi kenapa sekarang Tovan berubah? Entah lah gue juga gak ngerti.

"Van..." gue memberanikan diri untuk memanggil Tovan, karena dia belum merespon cerita gue.

"Nanti gue tanyain ke Zee, dan sebaiknya lo gk ketemu dia dulu" kenapa gue gk boleh ketemu dia? Tapi gue cuma bisa mengangguk pasrah. Semua ini juga karena gue, karena kecerobohan gue.

"Kalo gitu gue pulang dulu, maaf udh ganggu waktu kerja lo. Dan gue harap semuanya baik² aja" setelah itu gue pergi dari ruang kerja nya Tovan.

Gue baru ingat kalo gue punya janji sama Leo, akhirnya gue memutuskan untuk pergi ke apartemen nya Leo dan mungkin menginap di sana, karena gue lagi perlu teman sekarang.
Gue menekan bel beberapa kali dan terdengar suara langkah kaki, tidak lama setelah itu pintu terbuka. Meskipun belum mendapat izin, gue masuk ke dalam tanpa menghiraukan pemiliknya. Gue duduk dan memejamkan mata, rasanya hari ini otak gue lelah. Leo yg melihat gue pun gak banyak nanya, dia duduk di samping gue dan kembali fokus menonton tv.

"Yo... " panggil gue.

"Hmm" meskipun pelan tapi gue masih bisa dengar.

"Gue nginep ya"

"Iya" katanya, dia menatap gue sebentar lalu bangkit dari duduk nya dan pergi menuju dapur. Gue mencium aroma bawang yg lagi di tumis, gue tau Leo lagi masak tapi gue gak berminat untuk membantunya dan memilih untuk tetap memejamkan mata.

Tanpa gue sadari ternyata gue ketiduran, Leo membangunkan gue karena makanan nya sdh siap.

"Zain bangun, makan" kata Leo sambil nepuk² paha gue.

"Gue ketiduran" kata gue

"Lo kecapean mungkin" kalau lagi di luar jam kerja Leo memperlakukan gue layak nya seorang teman, tidak berbicara formal.

Tidak ada yg memulai pembicaraan, Leo juga tidak menanyakan apa pun ke gue, tapi dia tau kalo gue lagi punya masalah sekarang. Dia bukan nya gk peduli tapi dia lebih memilih diam dan nunggu gue sendiri yg cerita.

"Hari ini gue bikin dia marah" kata gue pelan tapi masih bisa di dengar.

"Calon istri lo?" tanya Leo

"Mungkin gue juga udh bikin dia kecewa karena kecerobohan gue sendiri. Gue gak tau harus gimana. Lebih baik dia marahin gue dari pada dia diemin gue kayak gini. Dia orang yg rapuh dan gue gak mau dia..." gue gak sanggup meneruskan kata² gue.

"Kesalahan lo fatal?" tanya Leo

"Mungkin bagi sebagian orang ini adalah hal sepele, tapi kalo menurut gue ini bukan hal yg sepele bagi dia, karena dia orang yg sangat sensitif" Leo diam sejenak kemudian membuka suara.

"Untuk saat ini lo tenangin diri lo dulu, lo perlu istirahat. Setelah lo tenang baru pikirin kedepan nya mau kayak gimana. Percuma lo mikirin masalah ini sekarang kalo lo aja lagi buntu kek gini" setelah gue pikir² apa yg di katakan Leo ada benarnya. Berenang mungkin akan sedikit menghilangkan stress, lalu gue ajak Leo untuk menemin gue pergi berenang.

Zee pov

Saat gue ninggalin Zain sendirian di ruangan, gue pikir dia gk bakal berani nyentuh barang² gue karena gimana pun itu bukan hak dia apa lagi dia belum dapat izin dari gue, bukan gak dapat tapi dia gk minta. Gue liat dia jalan menuju ke meja dan membuka laci setelah itu dia menuju ke lemari buku, dia mengambil beberapa buku dan membacanya sedikit². Waktu dia hendak mengembalikan buku yg telah di ambilnya dia menemukan sebuah foto, foto yg gue sendiri pun gk ingat kenapa foto itu ada di antara buku² itu. Gue liat dia memasukkan foto itu kedalam dompetnya karena foto itu berukuran kecil. Semua gerak-geriknya bisa gue lihat dengan leluasa, mungkin dia yg sadar kalau di ruangan itu ada cctv nya yg langsung terhubung ke ponsel milik gue.

Jujur gue sedikit kecewa, gue pikir dia gk akan seberani itu untuk mengambil apa yg bukan hak dia, apapun itu. Terlebih itu adalah hal yg berhubungan dengan privacy gue, gue gk suka ada orang yg seenaknya sama hal yg seharusnya mereka gk perlu tau.

Saat gue meminta dia untuk mengembalikan foto yg sudah dia ambil tadi gue gak marah, gue cuma kecewa. Dan itu membuat gue merasa bahwa emang gk ada orang yg sebaik kak Tovan, disaat gue mencoba untuk sedikit lebih percaya sama seseorang, orang itu sendiri yg menghancurkan kepercayaan gue. Kepercayaan yg sdh hancur dan terlalu sulit untuk kembali gue bangun. Alasan kenapa gue gk mau terlalu percaya sama org lain karena saat gue di kecewakan perasaan gue terasa sangat sakit, jadi gue memilih untuk biasa saja, agar rasa sakit yg gue terima juga akan biasa saja.

Kak Tovan duduk di ayunan yg ada di sebelah gue, dia menatap gue sebentar kemudian dia mengikuti arah pandangan gue yg sedang menatap langit. Malam ini langit terasa gelap, tidak ada bintang yg bersinar dan udara nya pun lebih dingin dari biasanya. Mungkin malam ini sangat cocok untuk menggambarkan bagaimana perasaan gue sekarang, sepi dan dingin.

Kak Tovan menggenggam tangan gue. Hangat, itu yg gue rasakan. Kak Tovan selalu bisa memberikan kehangatan saat gue mulai membeku. Dia menatap gue dan gue membalas tatapan nya. Dari matanya terlihat jelas kekhawatiran yg sedang berusaha dia sembunyikan. Tapi kemudian dia tersenyum, senyuman yg menjadi alasan gue bisa bertahan sampai sekarang. Gue masih ingin melihat senyuman itu dari wajah kak Tovan, senyuman yg mampu membuat gue ingin hidup lebih lama. Dulu saat gue tidak melihat senyuman yg saat ini kak Tovan tunjukan ke gue mungkin gue udh pergi, pergi selamanya meninggalkan orang² yg mengkhianati gue. Tapi saat gue melihat senyuman itu gue tertegun, kemudian pikiran gue berubah, kenapa gue juga harus pergi meninggalkan orang² yg masih menyayangi gue dan menyia²kan senyuman itu hilang di wajahnya kak Tovan.

"Zain udh cerita sama kakak" air mata gue keluar tanpa bisa di cegah.

"Rasa sakit itu masih membekas di hati aku kak, ini terlalu sakit untuk bisa di obati dan terlalu buruk untuk di diamkan" kak Tovan memeluk gue, pelukan itu sudah cukup membuktikan bahwa kak Tovan juga merasakan sakit yg sama seperti gue, tapi dia berusaha untuk kuat agar bisa menguatkan gue.

"Luka itu akan di obati dengan cara diam Zee, agar semuanya bisa kembali lagi seperti dulu. Perlahan tapi pasti, semuanya akan terobati. Rasa sakit itu akan menghilang setelah melewati banyak waktu. Ada kakak di sini, yg selalu siap menjadi tempat keluh kesahmu, yg menjadi sandaranmu dan penguat untukmu" gue menangis sejadi-jadinya di pelukan kak Tovan, karena hanya itu yg bisa gue lakukan di saat gue sudah merasakan sakit yg teramat dalam.

Tanpa gue dan kak Tovan sadari ternyata ada kedua orang tua kami yg sedang memperhatikan kami, bahkan mereka juga merasakan sakit yg saat ini gue dan kak Tovan rasakan. Bunda menangis di pelukan ayah, dan ayah menjadi penguat untuk bunda meskipun ayah sendiri pun menangis. Ayah dan bunda memang tidak seperti kak Tovan yg setiap saat selalu ada buat gue, tapi bukan berarti mereka tidak peduli hanya saja mereka tau gue lebih nyaman ketika gue bersama kak Tovan di saat gue sedang rapuh seperti sekarang. Dan mereka hanya memperhatikan dari kejauhan, berharap rasa sakit ini akan segera hilang dan tergantikan dengan rasa yg seharusnya kami dapatkan, cinta.

Because I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang