Sunyi, kata itulah yang cocok menggambarkan suasana sebuah ruangan yang kini dihuni oleh keempat lelaki tersebut. Mereka semua terdiam dengan pikirannya masing-masing yang membuat ruangan itu seolah hanya diisi oleh hembusan napas mereka.
Alex dan Fathar menatap secara bersamaan kearah Leon yang nampak duduk disebuah sofa yang ada dikamar Levin ternyata sedang memijat pelipisnya. Penampilan lelaki itu nampak sangat kacau dengan seragam sekolah yang masih dikenakannya.
Kemudian tatapan kedua lelaki itu berpindah kepada Levin yang nampak diam dengan tatapan kosongnya. Lelaki itu juga sama kacaunya dengan keadaan Leon.
Sejak Levin kehilangan jejak Ghiffa dijembatan, mereka semua sudah berusaha untuk mencari keberadaan Ghiffa yang tidak tahu ada dimana sampai malam menjelang. Berbagai tempat telah mereka datangi hanya untuk mencari keberadaan Ghiffa, dari rumah sahabat gadis itu, mansion keluarga Ghiffa bahkan sampai beberapa tempat yang menurut Leon biasa didatangi Ghiffa, namun semua itu hasilnya nihil, Ghiffa sama sekali tidak ada disana.
Leon menghembuskan napasnya kasar dengan menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Kini dia merasa menjadi seorang kakak yang tidak berguna.
"Ini salah gue!"
Leon diam tanpa membuka matanya yang terpejam, sedangakan Alex dan Fathar yang duduk di tepi kasur Levin menatap Levin dengan tatapan iba.
Levin meraih sebuah gelas yang ada dihadapannya. Tanpa ragu dia meneggak minuman yang ada didalamnya. "Andai gue dulu gak cuma mikirin perasaan orang yang waktu itu gue sayang, semua ini gak akan mungkin terjadi." Ujarnya dengan memejamkan matanya, dan tangannya menggenggam erat gelas yang ada ditangannya.
Levin bergerak menuangkan minuman yang ada dibotol kedalam gelas digenggamannya kemudian dia menenggak minuman itu kembali.
Fathar menggelengkan kepalanya singkat. Untuk pertama kalinya dia melihat Levin meminum minuman semacam itu. "Berhenti nyalahin diri lo, Vin!" Tegasnya.
Levin tertawa sumbang. Sepertinya kesadarannya sudah mulai berkurang. "Terus siapa yang salah kalo bukan gue? Ghiffa nangis gara-gara gue. Gue emang jahat."
Leon yang mendengar racauan Levin semakin memijat pelipisnya, karena rasanya kepalanya semakin berdenyut tidak karuan. Dia sebenarnya tahu, jika Levin terus meminum minuman itu akan berdampak tidak baik, namun Leon tidak bisa mencegah Levin yang tengah kalut seperti dirinya meskipun dengan pelampiasan yang salah. Ini memang kebiasaan Levin dulu, yang semenjak ada Ghiffa tak kembali terlihat, namun kejadian hari ini ternyata mampu membuat kebiasaan buruk itu muncul kembali.
"Gue gak mau kehilangan Ghiffa. Gue mencintai Ghiffa, dan gue butuh Ghiffa, tapi Ghiffa gak mau dengerin gue."
Levin kembali menenggak minuman itu dengan mata sayunya. "Gue salah, gue harus ngejelasin semuanya!" Racaunya kembali tanpa menghentika kegiatan meminum minuman itu.
"Vin, berhenti minum!"
Levin hanya tertawa kecil mendengar nada tegas nan datar yang terucap dari mulut Leon yang tidak menatapnya. "Gue mau Ghiffa kembali!"
"Bukan cuma lo doang, gue juga." Teriak Leon yang nampak frustasi. Matanya menatap Levin dengan tajam, dan didalam sana juga nampak amarah yang sejak tadi berusaha dia tahan.
Alex yang sejak tadi diam hanya bisa menghela napasnya singkat. Dirinya dan Fathar memang sudah tahu akar dari masalah Levin dan Ghiffa. "Jangan pada gini, kalo gini terus Ghiffa gak akan ketemu!" Lerainya dengan menatap kedua sahabatnya itu.
"Lo pasti nyalahin gue kan, Le. Tapi emang gue yang salah disini." Levin kembali berujar dengan diakhiri sebuah tawa kecilnya.
"JANGAN MABOK LAGI, LEVIN!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ghiffanya Levin [ SELESAI ]
Teen FictionJudul lama : "CINTA dalam PERSEGI" [ BELUM PERNAH REVISI ] Aku tidak menyukai posisi ini, dimana aku mencintai kamu sedangkan kamu mencintai dia, dan dia justru mencintainya. Disini aku merasa menjadi orang bodoh •~°~•Ghiffanya Laurin Genova Kesalah...