Part 73•~°~•Harapan

6.5K 270 3
                                    

Vanessa terus duduk terdiam disebuah kursi panjang yang berada di rooftop sekolahnya. Kursi yang biasa digunakan oleh Levin untuk sekedar duduk maupun rerebahan disaat lelaki itu sengaja bolos pelajaran maupun disaat jam istirahat.

Bangku ini terasa dingin, seperti seseorang yang biasanya menduduki kursi ini. Levin kini terasa dingin, tak tersentuh oleh Vanessa, seakan Vanessa tidak mengenalinya sama sekali.

Sudah berapa kali Vanessa berusaha untuk berbicara dengan Levin, namun sikap lelaki itu masih sama seperti pagi tadi. Vanessa tidak tahu jika ucapan kecilnya bisa membuat Levin semarah itu. Sebenarnya Vanessa tidak berniat menyakiti Levin dengan ucapannya, Vanessa hanya ingin menyakinkan Levin jika Ghiffa baik-baik saja, dan karena Vanessa ingin Levin juga memperhatikan kesehatannya sendiri.

Vanessa menghela napas berat. Setelah bertahun-tahun dia bersahabat dengan Levin, inilah kali pertama Levin sangat marah kepadanya. Vanessa tahu jika lelaki itu tengah khawatir, tapi apakah dia tidak tahu jika Vanessa juga sama khawatirnya dengannya. Vanessa yang mengkhawatirkan keadaan Ghiffa dan juga Levin.

Mata Vanessa yang sejak tadi terbuka, kini juga mulai terpejam rapat, merasakan setiap hembus angin yang dicampuri dengan panasnya sinar matahari. Vanessa masih memikirkan hal lainnya, yakni apa yang dimaksud dengan Levin menyakiti Ghiffa hanya karena Vanessa, dan hanya untuk Vanessa. Vanessa sama sekali tidak mengerti.

"Gak ke kantin?"

Diantara suara angin dan burung yang berkicauan, terdengar suara berat yang mengisi kekosongan tempat ini. Awalnya Vanessa tak merubah posisinya sama sekali karena dia kira ini hanyalah ilusinya semata, namun saat merasakan kursi yang didudukinya sedikit bergerak, Vanessa akhirnya menatap kesampingnya.

"Atau mau makan ini?" Suara itu terdengar datar bahkan orang itu berucap tanpa ekpresi sama sekali membuat Vanessa tak mengerti arti tatapan dan maksud dari orang itu yang menyodorkan kotak makan milik Vanessa yang pagi tadi sempat diberikannya kepada Levin.

Vanessa masih saja membisu. Pikiran dan dirinya terasa tidak berada disatu tempat yang sama.

Leon berdecak kesal dengan menjauhkan kotak tersebut dari Vanessa. "Kalo gak mau, ya udah." Leon kembali berucap dengan membuka kotak tersebut.

Untuk sesaat Vanessa terpaku melihat Leon yang mengalihkan pandangannya dengan sebuah roti dengan selai coklat yang kini lelaki itu masukan kedalam mulutnya.

Leon mengunyah roti tersebut tanpa mau menatap Vanessa sama sekali, sampai akhirnya kotak yang berisikan dua buah roti selai coklat habis tak tersisa.

Vanessa memalingkan wajahnya secara cepat disaat mata Leon menatap matanya. Vanessa merasakan debaran itu sendiri, dan dia tidak ingin berbagi sama sekali. Debaran yang terus dia rasakan disetiap menatap mata tersebut.

"Masih mikirin Levin?"

Vanessa tak menatap Leon, dirinya hanya mengangguk singkat saja disaat jantungnya tengah dia kontrol agar tidak berdetak terlalu kencang. Vanessa tak ingin jika Leon sampai mendengar detak jantungnya.

"Aya yang terjadi?" Leon bertanya karena lelaki itu hanya mendengar singkat dari Fathar jika Levin sempat membentak Vanessa sampai Vanessa terdiam lama.

Vanessa berdehem singkat, berharap jika suaranya tidak akan terdengar aneh. "Gue khawatir sama keadaan Levin, tapi kayanya ucapan gue salah saat gue minta agar Levin jangan terlalu khawatirin Ghiffa karena gue yakin Ghiffa baik-baik aja. Demi apapun, gue gak ada maksud lain lagi kecuali buat yakinin Levin, tapi entah karena ucapan gue yang kurang disaring atau Levin yang salah mengartikan jadi Levin marah."

Vanessa menundukan kepalanya disaat dia mengingat dengan jelas raut emosi Levin yang ditunjukan kepadanya. "Gue gak maksud saat Levin nyalahin dirinya sendiri dengan menyangkut pautkan gue. Katanya ini karena gue dan ini demi gue, gue gak maksud, Le."

Ghiffanya Levin [ SELESAI ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang