"Hanya sebuah lukisan yang bisa mengerti akan diriku. Hanya lukisan yang tahu, seberapa aku mengagumi pemilik kedua mata tajam nan hitam itu . Dan, hanya sebuah lukisan yang tahu seberapa besarnya, aku mencintai dirimu."
🌠🌠🌠
Jemari lentik itu menari dengan luwes di atas kertas, tangannya seolah tidak pernah lelah. Dan matanya terus tertuju kepada seseorang lelaki yang sedang asyik bermain basket, seakan tidak pernah menyadari kehadiran dirinya.
Gadis itu menghembuskan nafasnya, bibir mungilnya tersenyum puas akan karya yang diciptakan oleh jemarinya. Matanya lalu tertuju lagi kepada lelaki itu.
Seketika senyum yang terparti dibibirnya, perlahan memudar, ketika melihat lelaki itu menerima handuk kecil dan minuman, pemberian dari seorang gadis yang begitu cantik. Lelaki itu tersenyum, tangannya mengacak-acak rambut gadis itu dengan gemas.
Bulan. Yang sedari tadi memperhatikan lelaki itu dari kejauhan, tangannya terkepal didepan dadanya, rasanya sangat sakit melihat pemandangan itu.
"Untuk pertama kalinya, dalam 6 tahun ini aku baru melihat senyumanmu Bi. Dan senyum itu bukan untukku. Apa yang harus aku lakukan? Bahagia atau sedih Bi?" ucap Bulan dengan lirih.
Bulan melihat lukisan dibuku sketsanya dengan sendu. Tangannya mengusap-usap lukisan itu. Tidak tertahankan, satu bulir air mata jatuh dari matanya dan membasahi lukisan itu.
Lukisan Bintangnya.
🌠🌠🌠
Bintang melangkah dengan santai dikoridor sekolah, tatapannya digin serta tajam. Ia tidak menghiraukan pekikkan dari segerombolan perempuan yang baru saja dilewatinya.
Muka datarnya mendominasi, hingga tidak jarang banyak orang yang takut melihat dirinya, ditambah alis tebal nan tajam, bibir merah menggoda, rahang yang tegas, dan apalagi tubuhnya yang begitu kokoh dengan otot bisep yang menonjol.
Senyum Bintang merekah ketika melihat gadis yang disayanginya seperti adik kandung sendiri, dengan semangat 45 Bintang berjalan dengan cepat kearahnya.
"Nadia."
Berasa namanya dipanggil oleh pemilik suara yang begitu bass, Nadia menolehkan pandangannya kearah Bintang yang sudah memasang senyum mempersonanya.
"Bintang." Ucap Nadia, gadis itu menghampiri Bintang dan menggandeng mesra tangan berototnya.
"Sudah makan?" tanya Bintang sambil mengelus-elus rambut hitam Nadia dengan lembut penuh kasih sayang.
Nadia mengerucutkan bibirnya, lalu ia menggelengkan kepalanya. "Belum."
Bintang merasa gemas dengan tingkah Nadia yang begitu manja terhadapnya, tangannya terulur mencubit hidung kecil Nadia.
"Ya sudah. Ayo ke kantin, kamu belum makan kan? Nanti kamu sakit." ujar Bintang, yang dibalas dengan anggukan semangat dari Nadia.
Lalu mereka berjalan beriringan, dengan tangan yang saling bertautan seolah tidak ada seseorang pun yang bisa melepaskannya.
Sedangkan.. Dari kejauhan Bulan meremas buku sketsanya, tatapannya terfokus kepada dua insan yang sedang bermesraan itu. Hingga tanpa ia tahan, bulir bening terjatuh tanpa bisa ia tahan. Bulan lelah, lelah selama 6 tahun ini, ia selalu menangis. Ingin dia untuk menyerah, tetapi kata hatinya berkata lain, ia akan terus bertahan sampai waktu yang memungkinkan untuk membuat dirinya menyerah.