Hari ini akan diadakan lomba puisi untuk memperingati Hari Ibu. Kegiatan ini diadakan oleh eskul Jurnalistik. Banyak anak yang mengikuti lomba ini, termasuk Biru. 2 hari yang lalu Liel menawari Biru untuk mengikuti perlombaan itu.
Meskipun hanya lomba puisi, tapi lomba ini akan di hadiri kepala sekolah dan penghumi sekolah lainnya. Karena acara ini sudah menjadi agenda tahunan di sekolah.
"Bi, you fine?" Tanya Billa, dan Biru hanya mengangguk.
"Kita tunggu giliran lo ya," ucap Liel. "Lo mau baca puisi pake gitar?" Sambungnya, karena melihat Biru memegang gitar.
"Iya,"
Pandangan Biru tak terarah, begitupun dengan pikirannya. Biru masih belum bisa lepas dari masa kelamnya yang pernah hampir hilang, namun sialnya kembali lagi. Saat melamun seseorang menepuk pundaknya pelan. Biru menoleh.
"Jangan melamun," bisiknya, kemudian Biru tersenyum.
"Setelah acara selesai, gue mau ajak lo kesuatu tempat," Biru memiringkan kepalanya, bertanya.
"Rahasia," jawabnya. "Azlan, jangan main-main dong," ucap Biru.
"Ntar lo tau sendiri. Sekarang lo harus naik," suruh Azlan, memang sekarang adalah giliran Biru untuk naik ke atas aula.
Biru menyiapkan dirinya dan mulai memetik pelan gitarnya.
Dear Bunda,
Satu kata, namun mampu membuat satu ruangan bergidik merinding.
I've spent most of my life trying to fall in blanks.
Asking everyone around me about you.
The memories of you tucked away in a box in the attic.
I don't remember what your perfume,
Smelled like, or what made you laugh, but I'll never forget lying in your hospital bed drawing pictures with you.Saat Biru mengucapkan kata itu, Langit yang juga hadir, duduk bersebelahan dengan Azlan, teringat akan kenangan itu.
Di sebuah kamar rumah sakit, terdapat dua bocah laki-laki dan perempuan yang berumur sekitar 6 tahun dan 7 tahun itu yang sedang berbincang hangat dengan seorang wanita paruh baya yang sedang berbaring pada ranjang rumah sakit.
"Bunda, kapan pulang?" Tanya bocah lelaki itu. Wanita itu hanya mengelus lembut puncak kepalanya.
"Bunda lihat deh, Bilu gambar sesuatu," bocah perempuan yang masih cadel untuk menyebut namanya sendiri, menunjukan gambarannya pada seseorang yang di panggilnya Bunda tadi.
"Ini Ayah, Bilu, Langit, dan ini Bunda," ucapnya polos, dengan menunjuk satu persatu dari yang di sebutnya tadi. Pada gambar itu terlihat keluarga bahagia.
Langit langsung menggelengkan kepalanya, menepis ingatan itu.
Your rebellious little six year old.
I'm saying this because I wanna tell you that you were so strong.
That I wish you didn't have to look at your daughter knowing that you'd never see her get taller, get heartbroken, get married.
I'm sorry that I always made you pick me up when you were so weak.
I'm sorry for the fits I threw, the I love you moms, I never got to say.
I feel like I'm missing out on a huge part of being a women because you not here.Kata terakhir membuat Biru meneteskan air matanya.
Like a part of me is in that coffin with you, holding into your leg while I scoot across the floor begging you not to go.

KAMU SEDANG MEMBACA
SCHICKSAL
Fiksi Remaja(REVISI SETELAH TAMAT) "Apa takdir sedang mempermainkan kita?" "Saat aku mendekat, kamu seolah menjauh," "Apa yang sebenarnya sedang direncanakan Tuhan?" "Harus berapa lama lagi aku harus menunggu?" Kita adalah dua hati yang menanti sebuah takdir u...