"Akankah takdir mempertemukan kita lagi? Atau bahkan takdir tidak pernah berpihak pada kita? Sebenarnya apa yang diinginkan takdir pada kita? Apa takdir sedang mempermainkan kita?"
-Azlan Zahdan Arvino**
Pikiran Biru sudah campur aduk saat ini, rasa takut menjalar di sekujur tubuhnya. Matanya tetap terpejam, tidak ingin melihat apa yang sedang terjadi saat ini, bahkan jika ia harus mati di tangan Vito pun ia sudah pasrah, ia tidak bisa apa-apa lagi, untuk berteriakpun tenaganya sudah habis terkuras.
Mobil yang di bawa Vito melaju begitu kencang, bahkan bisa dibilang sangat kencang melebihi batas. Jalanan memang sudah sangat sepi mengingat ini sudah larut malam.
Bimo tetap menyetir mobilnya dengan keadaan kencang tapi juga stabil karena sekarang hujan pun mulai turun dengan derasnya, Bimo cukup ahli dalam mengendarai mobil, ia adalah pembalap mobil kelas kakap jika kalian ingin tahu, tapi itu dulu sebelum Bimo terjaring razia balap liar.
"Sekarang lo hubungi polisi Ar," titah Bimo.
"Kita harus bisa menghentikan Vito sebelum terjadi apa-apa," ucap Langit.
Di jok belakang, Azlan hanya terdiam menatap tajam mobil di depan mobil Bimo, jaraknya memang cukup jauh, namun Azlan masih mampu melihatnya.
Seketika terdengar suara ledakan saat mereka hendak melewati tikungan.
Dar!!!
Bimo mempercepat mobilnya.
Mereka berempat melihat mobil hitam yang di kejarnya tadi menabrak sebuah pohon. Dengan sigap mereka turun dari mobil dan menghampiri mobil Vito.
Mobil itu mengeluarkan banyak kepulan asap, satu orang keluar dari kursi kemudi, dia adalah Vito, cowok itu keluar dengan kepala berceceran darah. Langit dan yang lain segera membuka pintu penumpang dan pintu sebelah kemudi, Langit membuka paksa pintu penumpang belakang, disana ada Biru yang sudah tak sadarkan diri dengan luka di kepala yang bisa dibilang sangat parah, karena Biru di dalam posisi tidak menggunakan sabuk pengaman dan membuatnya terpental saat kecelakaan barusan, sedangkan Billa, cewek itu merintih pelan dengan memegangi dahinya yang terluka juga.
Saat itu pula polisi datang dan menangani kecelakaan mobil akibat ulah Vito.
Langit dan lainnya segera membawa Biru menuju rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan pertama.
Dalam perjalanan, Langit tak henti-hentinya merutuki kesalahannya atas kejadian yang menimpa Biru sekarang, bahkan cowok itu tengah menangis sekarang. Sedangkan cowok yang berada di sampingnya hanya diam sambil menatap nanar gadis yang sedang tak sadarkan diri itu. Wajahnya tak bisa diartikan sama sekali.
**
Sesampainya di rumah sakit, mereka langsung di sambut para perawat dengan membawa ranjang dorong untuk membawa tubuh lemah gadis itu dan membawanya ke ruang gawat darurat.
Langit mengusap wajahnya frustasi, saat perjalanan menuju rumah sakit ia sudah menghubungi Abraham untuk segera menyusul. Teman-temannya hanya bisa menenangkan Langit yang terlihat sangat kacau. Berbeda dengan Azlan, cowok itu berdiri menatap ke arah dalam ruang gawat darurat, ia memastikan bahwa gadisnya tidak apa-apa.
Mereka menunggu selama 45 menit, kemudian dokter yang menangani Biru keluar, Langit dan yang lainnya langsung berdiri mendekat pada dokter dan meminta penjelasan.
"Keluarga pasien?" Langit mengangkat tangannya.
"Maaf, pasien sedang dalam masa koma, dikarenakan benturan yang keras pada kepalanya dan juga akibat trauma yang sangat besar membuatnya koma saat ini, saya akan pindahkan pasien ke ruang ICU, agar perawatannya lebih intensif, saya permisi." Setelah mengatakan itu, dokter langsung pergi meninggalkan Langit yang masih tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar.
"Dokter bercanda 'kan?" Tanyanya pada Bimo yang memegang bahunya.
"Bilang sama gue kalo perkataan dokter tadi bohong?! Bilang sama gue kalo Biru nggak koma!" Teriaknya sambil menarik kerah baju Bimo.
"Tenangin diri lo Lang," ucap Aron menenangkan Langit.
"Gue nggak bisa biarin bajingan kayak Vito hidup!" Ucapnya dengan penuh isakan.
Bukan hanya Langit yang terluka dengan ucapan dokter tadi, Azlan juga merasa dunianya seketika runtuh, separuh dirinya yang baru saja ia bangun hilang. Tapi Azlan tidak mengeluarkan ekspresi layaknya Langit, ia hanya diam dan menatap dalam ruangan yang disana ada gadis yang disayanginya sedang terbaring lemah dengan banyak alat yang melekat pada tubuhnya, Azlan sungguh tidak sanggup melihat gadisnya seperti itu.
**
Satu bulan setelah kejadian naas itu.
Biru masih belum menunjukkan peningkatan pada kondisinya, sudah sebulan juga Azlan selalu menemani Biru.
Hari ini giliran Langit untuk menjaga Biru, namun disana ada Aron dan juga Bimo. Mereka sedang bercanda seperti biasa, tiba-tiba seseorang memasuki ruang rawat Biru.
"Hoy Az." Sapa Bimo.
Yang datang adalah Azlan, ia berjalan mendekati Biru yang masih terdiam diatas ranjang.
"Lo kapan bangun Bi?" Tanya Azlan pelan.
"Gue udah mau pergi bentar lagi,"
Mendengar perkataan itu, ketiga sahabatnya pun langsung menoleh ke arah Azlan.
"Lo jadi berangkat Az?" Tanya Aron.
"Iya, ntar malem penerbangannya." Jawabnya dengan tatapan masih pada gadisnya.
"Lo tega ninggalin Biru?" Pertanyaan yang dilontarkan Langit sungguh membuat otaknya bingung, hanya pertanyaan itu yang tidak sanggup ia jawab.
"Jagain Biru, Lang." Ucapnya, kemudian berjalan mendekati ketiga sahabatnya.
"Harus banget lo balik ke Jerman?" Tanya Bimo.
"Lo semua udah tau 'kan, gue udah nyiapin ini dari pertama masuk SMA."
Mereka bertiga sudah tahu bagaimana rencana Azlan untuk pindah ke Jerman, dan keadaan sekarang cukup mempersulit cowok itu.
"Gue bakal jagain Biru buat lo," ucap Langit dengan menepuk pundak Azlan.
"Jaga diri lo disana Az," dilajut dengan Aron.
"Jangan kepincut cewek Jerman yang semlohay Az," ucapan Bimo berhasil mendapat tatapan tajam dari Azlan.
"Bercanda elah,"
Azlan mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam tas yang ia bawa, dan memberikannya pada Langit, "Gue nitip ini buat Biru."
"Gue mana Az?" Tanya Bimo polos.
"Nih, lo mau?" Aron mengulurkan tangannya yang mengepal kedepan wajah Bimo, cowok itupun segera menggeleng.
"Yaudah, gue cabut sekarang." Pamitnya pada ketiga sahabatnya, dan memeluknya satu persatu.
Azlan berjalan mendekati Biru, membelai rambutnya, "Gue pamit ya Bi, lo cepetan bangun, kasian bokap sama Langit yang nungguin lo bangun," Azlan seolah tak kuasa melanjutkan kata-katanya.
Azlan mendekatkan bibirnya ke arah telinga Biru, kemudian ia berbisik, "gue sayang sama lo Bi." Dengan cepat ia menarik kepalanya menjauh.
Tanpa mereka semua ketahui, Biru mengeluarkan air mata dari sudut matanya.
**
END!!!!
Alhamdulillah yaa.
Duh maaf yaa kelamaan:(
Maaf juga kalo endingnya gini doang.Terimakasih sudah menyempatkan waktunya untuk membaca cerita yang entah bagaimana ini:'
Aku kepikiran buat extra part, tapi kayaknya nggak menarik gitu ya kan? Jadi aku bingung mau kasih extra part atau nggak.
Yaudah deh, happy reading, jangan lupa vomment, and enjoyyyyyy:*
KAMU SEDANG MEMBACA
SCHICKSAL
Fiksi Remaja(REVISI SETELAH TAMAT) "Apa takdir sedang mempermainkan kita?" "Saat aku mendekat, kamu seolah menjauh," "Apa yang sebenarnya sedang direncanakan Tuhan?" "Harus berapa lama lagi aku harus menunggu?" Kita adalah dua hati yang menanti sebuah takdir u...