Penerangan ber-watt 20 itu membantuku menyapu belakang rumah Bulek. Barangkali disana Si Jambul sedang meringkuk di sana. Ayamku yang satu itu memang sungguh manja. Selalu saja merajuk jika aku lebih perhatian pada Si Bangkok. Teman satu kandangnya.
Konyol memang. Sudah kewajibanku yang suka memelihara hewan. Selepas shalat Jama'ah Mahgrib tadi, aku langsung mampir kemari.
Kaki sedikit mengendap, dengan penuh hati-hati, tanganku mulai menyibak semak-semak yang tumbuh lebat. Sedikit was-was. Bukan hantu yang aku takuti, tapi ular.
Sesekali mataku mengitari ke atas pepohonan Mangga hasil cangkok, barangkali pula mungkin ayam manja itu bertengger disana. Sial. Nyamuk mulai menyerangku. Aku berjingkrak untuk menghindarinya. Lebih memilih pergi ke sisi lain.
Belakang rumah Bulek lumayan luas. Dipenuhi rumputan, beberapa pohon, dan juga rimbunya semak belukar yang kadang Pak Lek menumbangkanya. Namun akan tumbuh lebat lagi bila beliau kembali bekerja selama beberapa bulan di Kalimantan. Kuharap besok beliau datang. Suasana disini sudah seperti hutan Amazon saja. Begitu ngeri membayangkan Ular Kayu mematukku.
"Kukuruyuk!"
Rupanya Si Jambul di situ. Meringkuk di samping sumur. Pelan-pelan kutangkap. Ayamku sepertinya sedang sakit. Suaranya lemah. Namun ada sesuatu yang mencegah tatkala kakiku hendak melangkah.
Tak kuduga, tak jauh dari sumur, jarak beberapa meter sesuatu mengejutkanku. Tepat diatas batu besar. Dua manusia berbeda jenis saling berpagut.
Damn! Ini kali pertamanya aku menyaksikan adegan seperti ini selain di TV.
Beberapa waktu aku mengamati.
Bukankah itu?Menjijikkan. Geleng-geleng kepala aku dibuatnya.
Jadi ini? yang dilakukan dia selama les? Belajar berciuman ternyata.
Bulek tahu tidak, ya? sepertinya tidak.
Ingin sekali kuadukan, kalau putrinya berbohong.
Ataukah harus diriku sendiri yang menghentikan perbuatan maksiat itu? bersikap sok pahlawan juga bukan gayaku. Toh, mereka kelihatanya suka sama suka. Aku bisa apa.
Antara jijik dan geram, aku pergi saja dari sana. Kumatikan lampu, agar mereka bubar. Makan tuh gelap!
Ingatan tentang kelakuan mereka tak menguap begitu saja. Juga tak laporkan pada Bulek. Aku bukan seorang pengadu. Apalagi bukti ditangan tak ada. Aku juga tidak suka dituduh hanya membual saja. Biar Tuhan sendiri yang memberi tahu.
Kekesalan itu bertambah ketika salah satu dari dua manusia diatas batu itu tadi malan, ada di depanku.
Adam tengah bersama Amna di koridor kelas.
Apa dia sudah putus dengan Sari? secepat itukah? kan baru saja tadi malam mereka.....
Kurasa harus ada tindakan untuk Amna, agar dirinya tidak terkontaminasi virus seperti Adam. Tak rela, gadis yang mampu menggetarkan hatiku itu dirayunya.
Baru tadi malam berciuman dengan Sari, sekarang dengan tidak tahu dirinya meminta Amna pulang bersama. Dikemanakan sepupuku itu?
Aku mendekat, menepuk keras bahunya.
"Dam! ditungguin tuh, sama Sari." Sebetulnya itu hanya karanganku saja, sih.
Kerut didahinya berlipat. Wajah yang semula cerah itu kini memerah. Merasa terciduk, ya?
Tak perduli dengan hal itu, pandanganku menuju Amna.
"Na. Nggak lupa, kan? ayo berangkat." Sebelum dia menjawab, kedipan mataku cukup membuatnya menurut. Anak manis.
"Ow.... Jadi kalian mau pulang bareng? ngomong dong, Na. Dari tadi, kek. Em.. em mulu." Adam membuka suara. Dalihku berhasil rupanya.
"Hehehe, maaf, ya. Tadi aku nggak enak bilangnya."
"Ah. Nggak papa. Lain kali pulang bareng, ya?"
Lain kali?
Jangan pernah bermimpi, dia mau jadi Hawamu.
"Sari nyusul kesini, tuh!" Mata Adam berpindah. Mendapati Sari sudah melambai. Sengaja sudah aku SMS tadi. Biar cepat enyah.
"Hehehe. Ya udah. Aku cabut dulu, ya."
"Ya. "
Kulirik wajah manis Amna. Dia seperti habis minum Sprit.
Plong!
Mungkin gerah dengan sikap sok deket si Adam. Playboy cap jeroan Kadal itu.
"Thanks ya. Lais. "
Hanya mengangguk saja. Aku juga tidak berniat untuk bertanya, dia berterimakasih untuk apa. Karena jawaban itu terlihat jelas dari kedua matanya.
***
Cukup tenang, dia berada disampingku sekarang. Di dalam Armada sakti.
Matanya melirikku beberapa kali. Namun satu kata saja tak menguar dari mulutnya.
"Kenapa?"
"Enggak, kok."
Apa dia sedang berdebar saat ini? seperti yang dituliskanya di diary itu. Hahahaha. Amna yang lucu.
Ada harapan kecil dalam diri untuk dia mengingatku. Mengingat masa kebersamaan kita dulu.
"Lais."
"Ya?"
"Aku boleh tanya sesuatu?"
Aku mengiyakan.
Dengan ragu beberapa kalimat terlontar. Sedikit melirikkan mata.
"Kamu tadi kenapa, ya? kok bilang kita janjian pulang?"
Ow yang tadi toh.
Alasan apa ya, yang pas gitu biar aku tidak kelihatan cemburu karena Adam.
"Itu, aku liat kamu kayak ketakutan."
"Iya, sih. Aku emang canggung anaknya. Apalagi sama cowok."
Tak ada lagi kata yang keluar. Hening sejenak. Kami disibukkan membayar tagihan ongkos.
"Berdua ya, Mas. Sekalian bayar sama ceweknya, kan?"
Coba kuamati mimik wajahnya. Bersemu merahkah pipinya?
"Iya, Pak. Sekalian."
Tidak hanya merah di pipi. Hanya karena lontaran beberapa kalimat tadi, bibir itu tak lepas-lepas dari senyum. Amna kenapa kamu manis sekali.
Mungkin perasaanya saat ini seperti apa yang dia katakan dalam diary, duduk bersisian denganku sama halnya duduk dengan seorang Raja, pemimpin hatinya. Nyatanya sejak dari dulu pun aku sudah menganggapnya seorang Ratu, Sang pemilik hati.

KAMU SEDANG MEMBACA
Secret And Admirer (End & Revisi)
Teen FictionMengapa tak kau jemput saja asamu dengan doa. Amna menekuri potret ke dua sahabatnya dengan mata berembun. Sungguh, beban apa yang membuat mereka lebih memilih menentukan kematian mereka sendiri alih-alih meluaskan hati, menunggu keputusan Tuhan. ...