Keputusan

1.1K 88 3
                                    

"Ayah. Aku nanti pulang malam. Mau nengokin Amna dirumah sakit."

"Iya. Jangan malam-malam."

Kututup percakapan simple kami. Lalu beralih menali sepatu kets. Aku sudah ganti baju dan sudah bersiap berangkat. Agak kuperlambat memang, karena kupikir ini menit-menit terakhir. Ingin menikmati dunia yang tak pernah akan lagi aku nikmati.

"Eh Mbak Wayan mau kemana?"

Bude Yatun menegur ketika aku mengeluarkan motor dari pintu pagar. Beliau biasa bantu-bantu di rumah kami. Di rumah Nenek memang ada tiga keluarga yang tinggal. Maklum rumah Nenekku terbilang besar, dan ketiga anaknya serta menantunya punya cerita tersendiri mengapa mereka tiba-tiba satu rumah.

Om Rusman dan Bulek Indah belum mampu membeli rumah sendiri. Om Sugeng dan istrinya rumahnya masih direnovasi, sedangkan Raden, ayah angkatku sekaligus anak pertama Nenek memang sengaja dimintanya tinggal dirumahnya.

"Oh, Wayan mau jenguk temen, Bude." Kutorehkan sedikit senyum lalu berlalu begitu saja. Toh aku juga sudah tau Bude Yatun aslinya seperti apa, didepan terlihat ramah. Kalo dibelakang "Ratu nyinyir tanpa kamera". Bi Yatun tuh suka julid gitu terus jadiin semua hal di keluargaku sebagai bahan rumpi Bi Yatun sama temen-temenya. Emang nggak tau diri, udah syukur nenek mau memberinya pekerjaan. Masih aja njulidin orang.

"Wayan kok nggak bareng Sisil? kan satu rumah? nggak akur, ya?" itu salah satu kejulidan mereka. Ya terserah akulah, orang Sisil udah aku ajakin juga nggak mau. Dia malah milih naik angkot. Cari perkara emang dia. Suka banget citraku buruk dimata mereka.

Sisil juga gitu, kalau depan Nenek suka ngemis-ngemis minta dibeliin motor. Kasian emang. Sampai ngemis-ngemis gitu. Untung Bunda dan ayahku peka. Mereka nggak nunggu anaknya sampai ngemis-ngemis. Ya karena keadaan ekonomi Bunda dan Ayah memang lebih baik dari dua saudaranya.

Sudahlah, semua kejengkelan itu udah nggak bakal aku rasain lagi nanti.

Di tengah jalan aku membeli buah apel dua kilo. Di perempatan aku udah janjian sama Maria.

Ia sudah tau dimana kamar Amna jadi aku mengikutinya dari belakang. Sebelum aku masuk ke kamar Amna kutarik nafas dalam-dalam. Aku pasti bisa ngelakuin ini semua. Ini demi Bunda dan semua.

Ketika pintu kamar Amna sudah terbuka. Disana sudah ada Lais. Kehidupan Amna memang semakin sempurna saja dengan hadirnya dia yang sebenarnya laki-laki yang aku impikan.

Siapa yang tidak iri? Lais tampan, pintar, banyak yang suka. Mereka memang serasi. Amna, selain gadis itu pintar, tidak gemukan, juga kulitnya tidak terlalu putih sepertiku.

Wajahnya sempurna meski tanpa riasan. Dia jarang berjerawat, berbeda denganku. Aku manusia yang tak terdefini bentuknya. Aku iri dengan semua keberuntungan yang dimilikinya.

Ya. Aku selalu sibuk memikirkan kehidupan orang lain. Karena aku selalu dipandang buruk meski dibandingkan dengan siapapun, bahkan hampir semua cowok di kelasku juga mereka sering meledek, si Babi dan si angka satu berjalan dan bla bla bla jika aku bersama Amna ataupun dengan Maria. Selain dikatain "Babi", aku punya panggilan "Mrs. Puff. Tau kan anaknya mr. Crab?

Cuma bisa diam mendengar ejekan mereka, tapi Aman sama Maria juga sering membelaku. Memang mereka baik. Akunya saja yang jahat. Ya aku jahat karena takut mereka jahat duluan. Dan aku benci kesempurnaan ada di depan mataku.

Tepat pukul tiga sore, Lais meminta kami untuk menjaga Amna. Dia mau pergi ke Mushola untuk shalat.

"Ini gue bawain buah-buahan buat loe say. Gue kupasin, ya?" Maria menawari Amna untuk makan.

"Loe belum mandi, ya?"
tanya Amna yang masih belum bisa duduk dengan sempurna

"Hahaha, loe tau aja sih, Na. Tadi gue nggak sempet mandi. Alias males. Entar aja deh."

"Jorok banget sih. Kalau gue tambah sakit gimana?" Amna pura-pura ngambek. Dia menekuk wajahnya. Lagi cemberut aja dia manis gitu. Coba kalau aku? senyum aja masih kayak monster.

"Makasih ya, kalian udah mau repot-repot kesini. Jadi ngerepotin."

"Enggak kok."

Kami pun ngobrol seperti biasa dimana Maria paling banyak bicara. Aku memang tidak terlalu mau berbaur dengan perbincangkan yang aku nggak tertarik. Mereka suka korea, mereka suka game, mereka suka olahraga. Karena semua itu membuatku seperti pemain figuran disana.

"Eh, bentar deh. Kok gue gerah gitu,ya? oke deh gue mandi dulu. Pengap banget rasanya." Maria sudah pergi ke toilet yang ada di kamar ini. Jadi tinggal kami berdua.

Mungkin ini saatnya aku bicara. Penyesalanku memang terlambat. Bahkan sering sekali membuat gadis yang berada didepanku ini menderita. Mungkin ini keputusan yang tepat untuk semuanya.

***

Secret And Admirer (End & Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang