~Siang~

1K 106 4
                                    

Aku hanya berharap, rumah tante Fatimah pindah. Supaya ada alasan untukku tidak bertemu dengannya, terlebih anak tunggalnya itu. Aku sudah cukup malu dengan dia tau perasaanku. Kenapa aku begitu ceroboh?!

Hanya jarak beberapa rumah. Aku sudah bisa menemukan rumahnya. Rumah bercat hijau pupus itu aku tau pasti dia ada didalamnya. Tapi doa yang aku sematkan siang ini, aku ingin dia tiba-tiba ingin menjadi seperti anak SD yang tiba-tiba suka untuk pergi kerumah neneknya di desa untuk memancing di sungai. Tapi setauku neneknya sudah meninggal dua tahun yang lalu ketika dia masih SMP. Dan Nenek dari pihak ayahnya rumahnya ada disamping rumahku. Memang dunia ini bagiku terasa kecil. Sekecil tai cicak.

Teras rumahnya dipenuhi banyak sekali tanaman bunga. Aku tau pasti ini hobi Tante Fatimah selain menjahit pakaian. Beliau juga berjualan alat-alat jahit-menjahit. Maka dari itu Ibuku menyuruhku kesini. Karena disini tempat yang terdekat. Jadi tidak perlu ke pasar. Dan ibuku bisa hemat. Lagi pula hari Minggu seperti sekarang pastilah sangat ramai. Ibuku tentu malas jika kesana hanya untuk membeli satu bungkus jarum.

Ku bunyikan bel beberapa kali. Tapi yang kudengar suara tante Fatimah yang seperti suara ibuku ketika membangunkan aku dari tidur panjangku, beliau sepertinya menyuruh seseorang. Yang pasti orang itu adalah anaknya sendiri. Aku pun menyiapkan mental ketika dia hendak membuka pintu. Aku dengan sigap menarik ujung kerudung untuk menutupi wajahku sambil bernyanyi "desir pasir di padang tandus" dalam hati. Tepat sekali. Memang Lais yang membukanya.

"Astagfirullahal adziim! Siapa kamu?!" Dia memasang kuda-kuda. Aku baru sadar, ternyata cowok itu tidak diam-diam amat.

Dan aku baru sadar, ternyata aku menutup seluruh wajahku. Mungkin dia kaget. Dipikir aku teroris kali ya?! Atau Ninja Hatori?! Kerudung instanku memang kebetulan berwarna hitam.

"Ini aku." Segera ku buka cadar abal-abalku.

"Subhanallah ... ternyata kamu."

"Hehehehe."

"Kaget tau!" Dia menatapku tajam.

"Maaf."

Aku menarik nafas panjang. Dia juga sepertinya.

"Kenapa? kok tumben kesini?" Wajahnya kini normal. Tidak ada tajam-tajamnya.

"Tante Fatimah ada, kan?"

Lais tampak berfikir.

"Nggak ada. Tadi ada. Tapi sekarang nggak ada."

"Kemana?"

"Nggak tau. Tadi keluar."

"Oww .... Ya udah kalo gitu aku pulang aja kalo gitu."

Ku lihat dia menggaruk-nggaruk kepala. Mungkin dia lupa pakek Head and Shoulders.

"Cuma gitu doang? Ada perlu apa sih? Barangkali aku bisa bantu."

"Emang kamu bisa ngambilin jarum ukuran 12?"

Dia terdiam sejenak.

"Aku kalo itu nggak bisa. Kamu mending nungguin Ibuku balik aja deh."

Aku yang masih di luar pintu pun mengangguk. Aku duduk di kursi depan rumah. Ku pikir dia sengaja tidak mempersilahkan aku masuk. Aku tau jika pasti ayahnya pun tak dirumah. Ayahnya pasti masih kerja. Ayah laiz kerja di Lotte Mart, yang sudah jadi mandor.

Lais ku lihat dia masuk kedalam. Tapi dua menit kemudian dia datang dengan membawa secangkir teh dan juga cemilan yang aku tau itu kripik singkong.

"Di minum!"

"Hehhehe. Iya. Makasih."

Lais pun duduk di kursi yang mana ada sebuah meja yang memisahkan kami.

Sejenak kami sama-sama terkunci dalam hening.

"Sorry ya. Aku udah lancang baca diari kamu. Aku sebenarnya mau ngembaliin dari dulu kok. Tapi---" aku segera memotong perkataanya.

"Nggak apa-apa kok. Udah terlanjur. Mau gimana lagi. Tapi tolong ya ... jangan sampai temen-temen tau tentang isi diari itu."

"Iya. Aku janji. Yang jelas jangan sembarangan bawa buku seperti itu jika kamu ke sekolah."

"Iya. Makasih."

"Tapi kalau ke rumahku, nggak papa, bawa aja diarinya. Biar aku baca lagi."

Aku meliriknya tajam. Apa dia minta dijitak?

"Hehehe. Bercanda."

Senyuman bertopping huzelnut itu kembali lagi. Ternyata dia orangnya lucu. Seru. Pasti Ucha sudah main jambak aku deh kalo misal dia ada disini.

Kami kembali terdiam. Dadaku juga tak bisa diajak kompromi. Suara detaknya semoga tak sampai terdengar di telinganya.

Ku dengar suara langkah kaki dari dalam. Dan aku terhenyak, itu Tante Fatimah.

"Lais! Siapa yang datang, Nak?" Tante Fatimah bertanya sambil memastikan tamu itu adalah aku.

Aku heran saja. Kenapa Tante Fatimah datang dari arah belakang. Tadi kata Lais, beliau bukanya sedang keluar ya? Apa Lais kena Alzheimer?

"Loh, Is. Tadi kata kamu, Ibumu lagi keluar?" Aku menatap Lais meminta jawaban.

Dia lagi-lagi mengeluarkan senyum dengan lelehan coklat bertopping huzelnut. Manis banget.

"Tante di rumah dari tadi, Na. Siapa yang bilang tante keluar?"

"Hehehe. Lais tadi yang bilang, Tan."

Lais pun ambil suara.

"Em ... tadi kan, Ibu keluar kamar. Terus aku nggak tau, Ibu tadi kemana."

Tante Fatimah mendelikkan bola matanya.

"Ye ... tadi kan kamu tau, Is. Ibu kan lagi di toilet. Bilang aja kalau kamu mau berduaan sama Amna. Iya, kan?" Tante Fatimah menjulurkan jari telunjuknya pada Lais.

"Enggak kok. Enggak." Lais segera masuk ke rumah tanpa menatap kami sambil memasukkan jemari-jemarinya dalam saku.

"Heleh. Ngaku aja, Is. Nggak usah malu. Yuk, Na. Masuk. Dia emang gitu kalau ketauan boong. Matanya itu langsung nunduk. Tanganya dimasukin pula. Dari kecil dia memang kayak gitu kalo ketauan boong."

Tuh. Kan! Aku jadi ke geeran! .... Masak sih, Lais mau berduaan sama aku? Tidak! Tidak! Tidak! Aku harus bersikap biasa saja. Aku tidak perlu memikirkanya. Tapi tetap saja, aku pasti nanti malam tidak akan bisa fokus belajar.

Tapi setidaknya aku tau. Dia punya ciri khas untuk menutupi kebohongannya. Tapi apa benar, dia tadi sengaja berbohong? Demi bisa berdua denganku? Mungkin aku yang terlalu baper.

~♡~

Secret And Admirer (End & Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang