Gadis berpipi merah itu berlari meninggalkan rumahnya. Menghidupkan si merah yang selalu menemaninya jika merasa sepi. Mobil itu meluncur dengan cepat setelah pak Satpam membukakan dengan gemetar gerbang rumah mewahnya.
Butir-butir air mata turun dari pipi mulusnya. Ia terisak. Sementara seragam putihnya masih melekat.
Ia menyesal. Kenapa dirinya harus menyelinap ke kamar mamanya. Bukan menyelinap, lebih tepatnya ia sedang mencari gaun yang pas untuk di pinjamnya sebentar.
Ucha menyaksikan dengan nyata, dengan membungkam sendiri mulutnya. Pemandangan yang tak pantas ia tangkap, tubuh ibunya telanjang dengan seorang lelaki yang ia sebut sebagai Om itu.
Kepingan puzle-puzle itu akhirnya ia temukan. Sikap Mamanya yang terlalu dingin dengan Ayahnya, Mamanya yang tidak pernah absen pulang malam dengan alasan sibuk mencari uang, Mama yang tidak pernah tau anaknya melewatkan makan malam atau tidak, Mamanya yang tak pernah tau jika ia sering masuk rangking lima besar di kelasnya, Mamanya yang selalu punya alasan kuat untuk menolak makan malam di luar bersama keluarga, atau sekedar menikmati teh bersama suaminya, ternyata Om nya lah penyebabnya.
Mengapa laki-laki yang sekaligus adalah kakak tirinya itu tega menumpahkan spermanya pada Ibu tirinya sendiri!
Ucha tau, usia ayahnya yang sudah teramat senja, membuat Mamanya menodai pernikahan mereka. Mungkin itu alasan yang tepat. Usia wanita yang dipanggilnya Mama itu memang terpaut jauh dengan Ayahnya. Hampir tiga puluh tahun.
Ini memang bukan kesalahan penuh Mamanya. Kakek Ucha memaksa Mamanya untuk menikahi Hermawan, laki-laki yang biasa dipanggilnya dengan panggilan Papa. Dengan alasan masa depan yang terjamin, kakeknya tega memaksa anak sekaligus Mamanya Ucha untuk menerima pinangan Hermawan, laki-laki duda satu anak. Laki-laki yang menempelkan namanya dibelakang nama Ucha.
Ingatan itu masih kuat di benak Ucha, meski kejadian itu sudah setahun yang lalu, ketika ia menerima MOS pertamanya. Sejak saat itu, ia begitu benci dengan kaum adam. Gadis itu hanya mempermainkan mereka. Baginya semua laki-laki itu sama! Sampah! Sampai suatu ketika ia tak sengaja bertemu dengan laki-laki yang satu kelas dengannya. Ia berhati es, menghemat kata jika ada mahluk hawa mengajaknya bicara. Pandai dalam melantunkan kalam Allah. Ucha ingin laki-laki yang seperti itu. Ucha akan bersedia bekerja keras demi mendapatkan laki-laki itu.
"Sampai kapan, kamu bersembunyi disini? Mamamu pasti sangat merindukanmu, Ndok."
Ucha menutup lembar kerja Matematika setelah Neneknya datang membawa sepiring nasi goreng. Neneknya lebih perhatian daripada wanita yang sudah melahirkanya. Sudah hampir dua puluh menit ia berkutat dengan angka-angka. Waktunya untuk istirahat sejenak.
"Asal Nenek tau, sampai mati pun Ucha tidak mau melihat wajahnya lagi!" Andai Ucha bisa mengatakannya, jika saja Neneknya tidak punya penyakit jantung.
"Ucha lebih tenang disini, Nek. Nenek nggak suka ya? Ucha ada di sini?"
Neneknya duduk di tepi ranjang.
"Ya bukannya gitu. Ayahmu sudah tua. Dia butuh teman. Kakak tirimu juga sibuk mengurus usaha Ayahmu."
"Nenek kan jauh lebih tua. Makanya Ucha tinggal di sini aja, ya?"
"Pria brengsek itu juga sibuk bersenang-senang dengan Mama. Asal Nenek tau aja." Andai saja ia bisa mengatakan semua. Semua yang ia pendam selama ini. Ucha tau, Ayahnya pasti kesepian di rumah besar itu. Tapi ada si Mbok. Ada si Mbok yang selalu ada untuknya dari pada Mama.
"Sudahlah, Nek. Nanti kalau Ayah kangen kan bisa jenguk Ucha kesini .... Bilang aja, Nenek bosen kan, liat Ucha mulu di sini! Awas aja kalau Ucha pulang dan nggak balik kesini. Pasti Nenek ngemis-ngemis minta Ucha balik. Cucu Nenek yang paling cantik dan pengertian, Kan, cuma Ucha."
Ucha membuka kembali lembar kerja siswanya.
"Cucu kandung Nenek kan cuma Kamu, Cha. Cucu Nenek mana lagi yang Nenek rindukan selain, kamu?" Neneknya memukul pelan pundak Ucha.
Ucha meringis dan berniat menggelitiki ketiak Neneknya. Tapi ia tahan. Kondisi kesehatan Neneknya akhir-akhir ini buruk. Ucha sering mendengar suara batuknya.
"Cha. Temui Ayahmu ya? Ayahmu sedang sakit, Cha."
Ucha terhenyak dengan perkataan Neneknya. Harusnya Ucha ada disana. Menemani pria malang itu. Tapi ia terlalu jijik jika harus bertemu wanita yang sudah tega menghianati Ayahnya itu.
"Iya, Nek. Besok Selasa, Ucha kesana." Ucha menekuri angka-angka itu lagi. Ia juga belum membuat tugas pelajaran Seni-nya. Bu Mar memberinya tugas untuk membuat buku kumpulan lagu, sekaligus memilih satu lagu untuk dinyanyikan di depan kelas.
"Kok, nunggu hari Selasa?! Nanti Kakekmu kan bisa ngantar kamu kesana, Ndok."
"Sekarang sudah malam, Nek. Ucha belum ngerjain tugas Seni juga."
"Alesan mu ono wae." (Alasanmu ada saja). Neneknya menggerutu.
"Karena hari Selasa, Mama nggak bakal ada di rumah," imbuhnya dalam hati. Pasti wanita separuh baya itu ke luar kota.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret And Admirer (End & Revisi)
Novela JuvenilMengapa tak kau jemput saja asamu dengan doa. Amna menekuri potret ke dua sahabatnya dengan mata berembun. Sungguh, beban apa yang membuat mereka lebih memilih menentukan kematian mereka sendiri alih-alih meluaskan hati, menunggu keputusan Tuhan. ...