Amna tak pernah curhat tentang dia dengan siapapun, kecuali hanya dengan Tuhan, yang mana ia sering menyebutnya dalam doa.
Amna juga hanya berceloteh dengan diary pink yang menghilang entah kemana. Amna, meskipun begitu dekat dengan Jihan sedekat nadi, tapi hatinya tak mengijinkan gadis berwajah oval itu tahu perasaanya.
Jihan, gadis bermata bulat itu adalah anak kedua dari Om Hendra. Tetangganya. Kakaknya satu sekolah dengannya juga. Irham yang terkenal alim itu kadang juga aneh. Jika di depan teman-temannya, adiknya itu dipanggilnya Jihan. Tapi jika di rumah, baru di panggilnya adik.
Amna sering berkunjung ke rumah Jihan juga. Seperti sekarang. Tapi meski begitu tak membuat Amna suka dengan abang Jihan. Tidak sama sekali. Malah mereka tidak pernah bertegur sapa.
Abangnya memang berbeda dengan Jihan yang berani memiliki mantan pacar yang hampir selusin. Padahal Ayahnya sudah melarang. Begitupun dengan Ibunya. Pergaulan Jihan luas. Gadis itu juga sering berselancar ke rumah teman-temannya yang letaknya tidak ada dalam peta.
"Seminggu yang lalu, aku ke rumah Intan. Dan aku punya cerita seru!"
"Intan yang kamu bilang, Bapaknya punya gudang rokok itu, kan?" Amna sedang bercermin. Gadis itu berada di kamar Jihan.
"Iya. Yang itu. Kemarin malam dia tiba-tiba ngetuk pintu rumah!" Jihan berbaring memeluk guling.
Amna menoleh. Berhenti menyisir.
"Jam berapa?"
"Tengah malam!"
"Hah? Kok bisa?!"
"Iya. Tuh anak emang nggak waras."
Amna kembali menyiris rambutnya.
"Emang dia ngapain kesini malam-malam? Terus Ayah kamu gimana?"
Jihan membuang gulingnya. Kini ganti mengambil sebuah majalah.
"Ya marahlah." Jihan mengambil nafas. Ia tidak jadi membuka majalah itu. Ia meletakkan kembali.
Amna menanti episode cerita Jihan yang terputus.
"Ayah aku marah banget. Karena Intan bawa cowok di depan rumah. Dan lebih gilanya lagi ... dia mau minjem duit gue!"
"Dan kamu kasih pinjem ke dia?"
Kini gadis manis itu mendekat, duduk di tepi ranjang. Penasaran dengan cerita sahabatnya.
"Iyalah. Sejuta. Dia pinjem sejuta! Aslinya sih aku kesel ... duitnya mau di pakek dia buat apa coba?!"
"Apa emang? Perawatan?"
Jihan menggeleng.
"Buat beliin jaket kulit buat pacarnya! Apa nggak sinting tu anak!"
"Hah?! Kok bisa mau sih, di porotin gitu!"
"Ya namanya juga cinta."
Mereka dalam hening.
"Tapi nih...."
"Apa! Lanjutin cepetan! Berapa episode sih ceritanya?!"
"Tadi siang. Intan nangis. Katanya dia diputusin! Pacarnya marah, karena uang yang di kasih Intan kurang! Dan lebih menjengkelkan lagi ... tuh cowok udah main jadian aja sama cewek lain. Kalo nggak salah namanya Rani. Dia satu sekolah deh kayaknya sama kamu. Maharani Mahardika kalau nggak salah. Aku tadi juga ikut kepoin cewek itu di FB. Cantik sih. Pantesan Intan diselingkuhin."
"Waduh. Kalo gitu, temenku lagi otw di porotin dong?"
"Itu temen kamu, Na?"
"Maharani Mahardika, Kan?"
"Iya. Kelas sebelas. Sama kayak kamu."
"Iya. Kita satu kelas juga. Dan aku temen dekat sih dekat. Tapi dia jauh-jauh dekat. Aku bingung jelasinya."
"Kamu musti nolong dia, Na. Sebelum negara api menyerang. Peringatin dia buat putus sama Yanuar. Namanya Yanuar."
"Iya. Pasti."
Sebenarnya Amna sendiri ragu. Rani gadis yang sulit di tebak. Mereka tidak dekat sih sebenarnya. Bahkan Rani tidak pernah curhat denganya. Bagaimana caranya supaya Rani bisa putus dengan Yanuar. Itu adalah PR untuknya, sekaligus misi untuk menyelamatkan temannya dari dompet yang menipis jika Rani terus saja berpacaran dengan cowok yang bernama Yanuar itu.
"Aku kasihan sama Intan. Dia jarang pulang ke rumah Orang tuanya. Dia sering nyolong uang Neneknya. Ya buat ngasih uang ke Yanuar. Orang tuanya sibuk kerja. Tapi mereka perduli kok. Intan hanya butuh kasih sayang. Maklum saja, dia nggak punya saudara. Banyak sekali kenakalan yang dibuatnya. Bahkan dia cerita sendiri kalau dia udah nggak perawan!"
Amna tampak tercenung mendengar cerita Jihan. Ternyata kaya saja tak cukup membuat orang untuk merasa bahagia. Didikan dan kasih sayang orang tua sungguh sangat berperan. Dan ia bersyukur mempunyai orang tua yang baik. Yang selalu mengarahkan ia ke jalan yang lurus.
"Astagfirullah ... Kita harus banyak-banyak bersyukur, Han. Kita punya orang tua yang sangat perduli dengan kita. Selalu mengingatkan kita jika berbuat salah. Mendidik kita dengan sebaik mungkin. Kamu juga harus ngingetin dia, Han. Kamu nasehati sehalus mungkin. Jangan ceritakan pada siapapun aibnya. Sebenarnya kupingku juga penasaran sih tadi. Tapi beneran Han. Cukup cerita ke aku aja. Ini bisa jadi pelajaran buat kita, untuk hati-hati, jangan sampai kita masuk dalam pergaulan yang tidak di ridhoi oleh Allah."
"Kamu macam Bu Ustadz aja, Na. Iya. Ntar aku nasehatin setelah dia bayar utang-utangnya. Sebel deh. Padahal itu kan, uang tabungan aku untuk liburan ke Jogya."
"Salah sendiri, kamu ngapain main ngasih aja!"
"Iya itu juga kebodohan aku. Abisnya dia nraktir aku mulu pas dulu. Kan aku jadi sungkan kalo nolak dia buat pinjem uang."
"Sungkan, sungkan! Makan tuh sungkan! Harusnya kamu pikirin dulu sebelum melangkah! Sekarang nyesel, kan?"
"Perasaan akunya curhat deh. Ini kenapa akunya di salah- salahin?"
"Iya emang itu kan salah kamu sendiri. Uang segitu harusnya kasih aja ke aku."
Mereka berakhir dengan adu lempar bantal. Sampai ketukan pintu terdengar. Itu kakanya yang mau minjam kamus. Sebenarnya Irham juga sedang setor muka pada Amna. Ada rasa dalam diamnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/164137984-288-k547389.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret And Admirer (End & Revisi)
Novela JuvenilMengapa tak kau jemput saja asamu dengan doa. Amna menekuri potret ke dua sahabatnya dengan mata berembun. Sungguh, beban apa yang membuat mereka lebih memilih menentukan kematian mereka sendiri alih-alih meluaskan hati, menunggu keputusan Tuhan. ...