"Saya sungguh kecewa sekali dengan sekolah ini! Bagaimana bisa sampai tas anak saya digunting-gunting seperti ini?! Untung cuma tas! Kalau muka anak saya ikut digunting-gunting, apa sekolah ini akan ikut tanggung jawab?! Saya tidak bisa membayangkan hal itu terjadi! Ibu harusnya lebih peka dengan maraknya pembulian yang terjadi di banyak sekolah akhir-akhir ini. Saya terus terang benar-benar kecewa dengan keamanan di sekolah ini. Jadi tolong Bu--" Ibuku menoleh padaku yang sedang makan dengan khusyu' nya di meja makan.Aku yang sedang menikmati makan soreku pun berhenti untuk menyahuti, "Bu Nilam."
"Tolong ya, Bu Nil. Jaga anak saya baik-baik! Kalau perlu pasang CCTV!. Enak saja main rusak tas anak saya. Dan satu hal lagi, Bu Nil, tolong sampaikan rasa kecewa saya sama Pak---" kulihat Ibuku tampak berpikir dengan pisau yang masih digenggam olehnya, "siapa, Na, nama kepala sekolah kamu?" Ya. Ibuku menoleh padaku lagi. Akupun jengah. Makan soreku sedikit terganggu.
Garpu ku letakkan. Karena takut dianggap durhaka akupun menyahuti beliau lagi.
"Pak Haidar. Namanya Pak Haidar. Ibu masak aja deh. Ngapain sih, tereak-tereak kayak gitu. Amna nggak mau kalau Ibu benar-benar ke sana. Itu bakal bikin Amna malu." Akupun melanjutkan lagi menyuapi mulutku dengan nasi.
Ku dengar Ibuku mengiris-iris bawang.
"Ya, nggak bisa gitu, Na. Ibu harus kesana. Bila perlu besok! Ibu latihan itu biar Ibu hapal! Ibu suka lupa kalo ketemu orang banyak."
Lucunya. Memaki orang perlu menghapal segala.
Aku tidak ambil pusing omongan ibuku. Paling juga Ayah bakal ngelarang. Dan Ibuku pasti murut. Tapi pasti Ayahku yang kesana. Berbeda dengan ibuku yang berkoar-koar seperti tadi, Ayah pasti lebih bijaksana dalam menangani masalah.
Piring sudah ku cuci. Akupun beralih pada tas ku yang sudah rusak. Sedih sih. Tapi itu udah nggak berasa lagi kok. Aku udah dapat pemawarnya.
Dia. Senyumnya. Beberapa patah kata darinya. Ah. Itu indah. Aku suka. Aku bahagia.
"Suka sama lagunnya?" Itu kalimat yang terlontar dari mulutnya. Akupun mengangguk. Gimana aku nggak suka? Aku suka segala tentangnya.
"Bawa aja. Kalau udah bosan. Baru balikin." Dengan ringannya dia masuk Armada Sakti yang setiap hari membawa kami pulang pergi. Ah dia. Suka sekali membuatku ternganga.
***
"Gue sedih say. Loe sih nggak masuk." Aku ceritakan apapun yang terjadi padaku di sekolah tadi. Kecuali tentangnya. Tentang dia yang tiba-tiba menghiburku dengan lagu.
Aku masih mendengar nafas Janan di seberang sana. Aku tau dia pendengar yang baik.
"Loe bayangin aja. Seandainya loe jadi gue! Gimana perasaan loe!"
"Ya gue nggak maulah jadi, loe." Udah cup-cup. Besok gue traktir deh. Es teh. Tapi baksonya loe ya?" Janan ku dengar cekikikan.
"Ye... enak di elo dong!"
Tanganku menggaruk sebentar kakiku yang gatal. Tanda kalau aku belum mandi.
"Lagian Ucha sadis banget sih, Na. Kok sampe tas lo digunting-gunting kayak gitu. Padahal biasanya kalo dia ngelabrak cewek lain juga paling cuma dijambak. Kayak misal loe tadi. Iya, kan?"
"Ya, gue juga nggak tau. Gue lagi apes kali!"
"Gue udah sembuh kok. Besok gue masuk. See you tomorrow."
Aku menguap lebar. Tinggal setengah jam lagi, Asar' akan berlalu. Ku bergegas mengambil handuk, dan juga pakaian ganti. Aku bahagia, tasku besok bakal berganti warna, gaya, dan bau.
***
Embun masih terjaga. Pagi ini berbeda, tak ada rintik hujan yang menyambut. Dengan tas baruku, ku langkahkan kaki dengan cepat. Aku sedikit kaget ketika ada kaki panjang menyamai langkahku.
"Assalamualaikum." Dia menyapaku. Apakah setelah kejadian kemarin kita bisa menjadi teman? Teman sungguhan?
Aku tidak menjawabnya. Lidahku kelu. Aku tercekat. Sepertinya benar ada malaikat tanpa sayap. Dia benar tepat ada disampingku.
"Buruan. Nanti terlambat." Dia mengeluarkan beberapa patah kata lagi. Aku tidak bisa membalasnya. Gerogi merasukiku.
Apa aku kelihatan cantik? Sampai dia mau menyapaku? Oh iya. Mungkin karena tas ku yang baru. Cowok kan suka hal-hal yang baru.
Sebenarnya apa sih tipe idealnya? Aku kadang suka bertanya tentangnya jika ada Tante Fatimah di rumahku. Beliau pernah bilang.
"Dia anaknya pendiam. Tidak suka bicara. Hemat kata. Dia itu ya, tidak terlalu suka berbicara."
Iya Tan. Aku tau kok. Dari SD dia kan gitu.
Cuma beberapa kalimat itu yang berhasil aku dengar setelah memancing ibunya dengan beberapa pertanyaan. Ibunya juga pelit. Pelit bicara. Aku rasa dia mirip ibunya.
Langkah panjangnya benar-benar membuatnya berada jauh aku tertinggal darinya. Biarlah dia pergi saja dahulu. Aku sedang menata hati agar tak ada kata "GR" melanda.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Secret And Admirer (End & Revisi)
Fiksi RemajaMengapa tak kau jemput saja asamu dengan doa. Amna menekuri potret ke dua sahabatnya dengan mata berembun. Sungguh, beban apa yang membuat mereka lebih memilih menentukan kematian mereka sendiri alih-alih meluaskan hati, menunggu keputusan Tuhan. ...