Ketika seluruh isi tas pink baruku sudah kukeluarkan semua.
Nihil!
Aku bukannya berburuk sangka atau apalah. Tapi aku ingat! jelas-jelas aku sudah menaruh topi kehormatan itu dibagian tas paling depan. Aku yakin sudah menaruhnya tadi malam. Tepat pukul satu malam setelah mampir ke kamar mandi Pipis.
Bangku tergeser, ku tengok ke bawah. Barangkali benda yang ku cari keberadaanya itu sedang terdiam disana. Tetap saja, tak ada. Hanya bau kaos kaki yang terendus oleh indra penciumanku. Itu pasti bau kaos kaki milik Janan. Dia kan jorok.
"Nyari apa sih, Beb?" Kulihat dia mengusap peluhnya. Tubuhku pun juga dihujani peluh. Sekarang lagi musim panas. Belum lagi jika nanti aku dijemur dibawah senyuman mentari yang cetar membahana karena tak membawa benda yang biasa menempel dikepala itu. Percuma saja koperasi buka. Uangku tidak akan cukup membelinya. Hari ini aku tidak membawa uang lebih. Kalau ngutang Janan, itu tidak mungkin! Dia sama kere-nya denganku.
Kutopang daguku. Aku berdecak.
"Topi gue, Jan. Ilang. Hah!" Wajah sendu ku mungkin tampak.
"Kok bisa? Loe lupa naruh kali."
Aku menggeleng.
"Mungkin." Ku lihat penduduk kelas ini sudah menghilang. Mereka pasti sudah berada di lapangan berjajar rapi.
Kecuali dia. Cowok yang tadi menyapaku tadi pagi. Cowok yang sudah menjadi teman naik Armada Sakti setiap hari itu sedang memejamkan matanya. Menyandarkan tulang punggungnya. Tempat duduknya berada di lajur kiri tepat disamping Janan. Sudah ku bilang kan, di bab sebelumnya?
"Sorry, Beb. Gue nggak bawa uang lebih, nih. Jadi nggak bisa bantu minjemin buat beli topi." Kulihat Janan merasa bersalah karena tak bisa membantuku.
"It's okey. No problem. Semua bakal baik-baik aja kok. Paling juga nanti gue di display di depan anak-anak. Nyabutin rumput. Nyiramin bunga. Buang sampah. Dan bersihin toilet." Kalimat terakhir aku sedikit frustasi. Toilet sini kan jorok bin bau banget!
Senyum kupaksakan. Lebih tepatnya aku meringis.
"Sabar aja, Beb. Loe nggak sendirian kok. Ada gue." Janan menepuk pundakku sambil melintir sepotong rambut merahnya.
"Emang loe mau ikutan dihukum bareng sama gue?"
Kulihat dia meringis. Mana mau dia. Hahahahaha.
"Ya gue pantau dari kelas cukup kan, Beb? Kalau loe nanti pingsan kan gue bisa cepet meluncur. Nanti gue bakal teriak kenceng kok kalau loe kenapa-napa."
Aku memutar bola mataku sambil tersenyum sinis padanya.
Dasar!!!
"Ya-ya-ya. Itu memang cocok sama nama loe, sih. Jan pantau!"
"Hahahaha. Bisa aja, Loe."
Dia tertawa. Akupun juga.
"Udah, yuk. Kita ke lapangan. Kelamaan disini bisa-bisa loe ikutan dihukum. Padahal sih ... gue-nya emang ngarep," aku meringis padannya.
"Hahahaha. Udah. Ayok buruan!"
Kami segera berlari ke lapangan. Merayap dan menyatu dengan barisan.
Tak ada yang tak bertopi. Di sekelilingku dipenuhi murid-murid bertopi. Aku hanya bisa berdoa, semoga Pak Bambang minusnya bertambah.
Cuaca semakin panas. Angin sepoi sedikit menyelamatkan kami. Peluh-peluhku pun sedikit mengering.
Ku lihat pak Bambang sudah di depan kami. Mata beliau mulai berkeliling. Memantau setiap inci para muridnya yang mungkin melanggar peraturan.
"Itu, Mbak-Mbak baju putih. Silahkan maju ke depan!"
Perintah yang ambigu memang. Apa ada murid disini yang berpakaian hitam pekat? Ini upacara bendera, kan?
Aku tahu, beliau sebenarnya memanggilku. Tapi aku diam saja sambil menahan tawa. Ku lihat Bu Nilam mendekati Pak Bambang. Membisiki beliau sesuatu. Dan Pak Bambang pun membisikinya balik. Untung mereka suami istri. Jadi tak ada yang berani mencie-ciekan. Mungkin kaca mata beliau tidak bekerja dengan baik.
Bu Nilam tiba-tiba masuk barisanku. Aku mulai gelisah. Harusnya aku ganti baju olahraga saja.
"Amna ... kalau sudah tau tidak bawa topi, kenapa tidak maju ke depan?" Tegas Bu Nilam padaku. Aku hanya tersenyum malu.
"Iya. Bu. Maaf. Saya kira semua disuruh maju."
"Alasan saja, Kamu. Ayo maju!"
Mau bagaimana lagi... ini sudah hukum alam. Siapa yang melanggar harus dihukum.
Satu menit kemudian. Aku sudah berada di belakang Pak Bambang. Posisi display yang strategis sudah aku tempati.
Sinarnya begitu terang. Ah. Sia-sia aku luluran tadi sore kalau untuk dijemur hari ini. Aku harus bersabar. Hanya satu jam, kan? Nggak apa-apa. Kalau aku tidak kuat. Aku bisa pura-pura pingsan nanti.
Aku dulu pernah sekali dihukum. Dulu aku tidak memakai kaos kaki putih. Itu karena sebelahnya dihilangkan Ibuku. Dan akhirnya ketemu nyelip di sepatu Ayah. Kaos kaki kami tertukar. Tapi Ayah suka sekali memakainya. Sudah jelas-jelas nama sekolahku tertera disana.
Sampai akhirnya Bu Nilam untuk pertama kalinya menghukumku, ya seperti sekarang ini ... dulu aku hampir pura-pura pingsan. Tapi sayangnya ada murid lain yang mendahuluiku. Dia lebih dulu pingsan disampingku.
Rencaku untuk pura-pura pingsan mungkin akan berjalan. Tapi ketika Bu Nilam memanggil namanya untuk maju ke depan! Tepatnya di sampingku. Aku putusnkan dengan senang hati aku menjalani hukuman ini.
Dia. Cowok idamanku. Dia ikut tidak membawa topi? Bukanya tadi pagi dia bertopi? Kemana perginya topi itu? Apa dia kemalingan topi juga?
Aku jadi nervous dekat dengannya. Mungkin jika bukan hanya kami berdua saja yang dihukum, mungkin aku tak akan segugup ini. Para murid didepan kami membunyikan koor panjang 'cie-cie' pada kami. Hanya kami berdua yang dihukum. Tak ada mahluk lain yang kehilangan topi.
"Kamu nggak bawa topi juga?" Aku memberanikan diri bertanya.
"Aku bawa." Ku lihat dia tetap condong lurus kedepan, menjawab tanpa menatapku.
"Terus kamu ngapain disini?"
"Itu karena ...,"
Aku menanti jawabannya. Dia menoleh padaku.
"Karena aku nggak suka kamu sendirian."
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Secret And Admirer (End & Revisi)
Fiksi RemajaMengapa tak kau jemput saja asamu dengan doa. Amna menekuri potret ke dua sahabatnya dengan mata berembun. Sungguh, beban apa yang membuat mereka lebih memilih menentukan kematian mereka sendiri alih-alih meluaskan hati, menunggu keputusan Tuhan. ...