"Gue nggak bersalah, On!" gue menyeruak memeluk Leon setelah sipir membuka pintu penjara yang sudah hampir tiga hari gue di sana. Sumpah disini gue tersiksa banget! nggak ada ac, makanan juga nggak enak, mau tidur juga susyah, hah! shit! Denok Wayan Sari sialan! gara-gara dia gue ada disini!
Belum juga kering tuh luka hati gue karena gue sambil bawa pisau sialan itu, Lais nggiring gue ke BK. Dan nggak lama semua warga sekolah liat gue masuk mobil polisi. Itu peristiwa ternaas yang gue alami setelah kehilangan Papa. Papa... anakmu disini sedang menderita, Pa.
Sebelum gue masuk ke mobil polisi dengan kedua tangan gue yang udah diborgol, gue minta kesempuan buat ngomong sebentar ke Lais.
"Terserah loe percaya sama gue atau enggak, itu bukan urusan gue. Cuma satu hal yang perlu loe tau! LINDUNGI AMNA DARI WAYAN. Gue mohon sama loe."
Dia membuang muka sambil berdecih. Untung lu ganteng. Coba kalo tonggos udah gue tampol mulut loe.
Hanya itu aja kalimat yang keluar dari mulut gue. Mau gue ngomong panjang lebar juga dia nggak bakal percaya sama gua, karena apesnya gue pas ketemu dia, gue masih aja bawa pisau, ada darahnya pula.
Satu hal lagi yang bikin gue sakit hati sekaligus malu banget!!! gue seorang Ucha kali pertamanya gue dibentak-bentak, Man... . Gue dipaksa ngaku kalo gue yang udah nusuk Amna. Padahal niatnya gue cuma mau nakutin dia. Eh Si Wayan Psikopat itu malah narik tangan gue terus nusuk Ucha. Dia juga pakek sarung tangan pas waktu mau ngelakuin iti semua, jadi otomatis jejak sidik jarinya nggak ada ditubuh gue. Amna juga udah keburu pingsan dan pasti tu anak nggak tau apa yang sebenarnya terjadi.
"Iya, gue tau kok. Tenang, ada gue." Leon berusaha buat gue tenang. Dia juga menyeka air mata gue. Gue diajak duduk dan tentu masih dalam pemgawasan para Sipir.
"Apa Mama nyariin gue, On?"
Dia ngelepas topinya. Kayaknya dia kepanasan. Disini emang gerah banget.
"Nyokap loe ntar siang mau kesini. Dia masih di Singapur. Tapi dia bakal nyari Pengacara handal kok."
Gue nunduk karena embun air mata gue udah meluncur.
Leon mengangkat daguku.
"Loe yang kuat. Semua ini ujian buat loe. Loe nggak boleh nyerah. Gue juga bakal bantuin loe."
"Gue harusnya bilang ke Loe, kalo nama pembunuh teman gue itu Si Denok, teman sekelas loe. Sorry. Gue juga baru tahu kalo loe sekelas sama dia."
Gue juga sempet nebak sih, pas gue inget Wayan itu murid pindahan dari Bali. Begoknya gue yang dari namanya aja udah ketebak. Wayan kan nama yang biasa dipakai disana yang maknanya nggak jauh beda dengan nama 'Eka' kalau di Jawa.
"Itu udah nggak penting lagi, On. Loe mending sekarang jagain Amna. Gue sih juga sering buli dia. Tapi gue nggak setega itu buat berani nusuk dia. Wayan pasti bisa aja ngincar dia. Plis.... mending loe kerumah sakit sekarang!"
*
*
*Aku sendiri langsung menarik tangan Ucha ketika Wayan berteriak meminta tolong. Akupun kaget karena Amna sudah diangkat tubuhnya oleh Wayan dengan bersimbah darah. Apa-apaan ini!
Dadaku naik turun dan nafasku memburu. Bahkan tanganku tak berhenti bergetar. Aku sungguh sangat takut jika Amna tak bangun lagi!
Aku yang baru saja dari toilet yang mana tak jauh dari gudang segera menghadang Ucha dan meminta Wayan untuk meminta guru menelpon ambulan.
Semuanya terjadi begitu cepat. Wayan sudah menjelaskanku semua setelah Amna sudah masuk ruang UGD. Aku nggak nyangka Ucha sejahat itu. Dan aku tidak menyangka hal buruk itu terjadi lagi pada gadis yang aku sayangi. Maafin aku, Na. Aku laki-laki paling bodoh!
Ucha sendiri meronta meminta ku untuk melepaskanya dan menyangkal tuduhan Wayan terhadapnya. Wayan jelas-jelas adalah saksi kebiadapan Ucha. Ucha sudah jelas-jelas memegang pisau berlumur darah Amna. Lantas apakah aku harus mempercayai Ucha? Sedangkan bukti sudah ada didepan mata!
Sudah hampir tiga hari Amna berada di rumah putih ini. Akupun masih setia menungguinya di ruang tunggu depan kamarnya. Kedua orang tuanya kupaksa untuk pulang kerumah mereka. Tentu untuk mengambil keperluan ketika di rumah sakit. Ibunya Amna sudah tiga hari ini kulihat matanya sembab. Beliau sungguh sangat syok dengan apa yang menimpa anaknya. Beliau juga tidak mau makan jika Amna belum bangun.
Untungnya setelah tujuh jam pingsan, dia sadar juga. Tapi jahitan diperutnya baru bisa dibuka sepuluh hari kedepan. Dia masih harus istirahat mengingat lukanya yang begitu parah.
Aku memang laki-laki payah! mengaku menyukainya tapi aku sering saja terlambat untuk menolongnya. Kenapa dia selalu saja dikelilingi manusia-manusia berbahaya seperti Ucha. Aku benar-benar tidak tau apa modus Ucha. Amna juga belum bisa dimintai keterangan oleh polisi terkait hal buruk yang menimpanya. Aku pastikan Ucha pasti akan mendapatkan hukuman yang setimpal dengan apa yang dia perbuat.
Ketika aku masuk ke dalam, Amna masih terpejam. Aku duduk di sebuah tikar yang sengaja di bawa oleh orang tua Ucha untuk menunggui anaknya. Kamar ini hanya dihuni Amna seorang. Kasihan dia harus makan dengan cara diinfus.
Setelah beberapa menit aku disana, kelopak matanya terbuka. Ada tetesan air mata lolos dari sudut kanan matanya.
"Ibu."
Aku segera berdiri. Tapi kaki kiriku seakan ngilu ketika Amna mengucap beberapa kalimat yang aku nggak bisaencernanya sesaat.
"Bebasin Ucha, Bu. Dia nggak salah."
What!!!! Apa aku tidak salah dengar?!apa dia tidak sadar dengan apa yang diucapkanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret And Admirer (End & Revisi)
Ficção AdolescenteMengapa tak kau jemput saja asamu dengan doa. Amna menekuri potret ke dua sahabatnya dengan mata berembun. Sungguh, beban apa yang membuat mereka lebih memilih menentukan kematian mereka sendiri alih-alih meluaskan hati, menunggu keputusan Tuhan. ...