41. Kenapa Aku?

2.8K 223 3
                                    

"Ibu?"

Wanita itu benar-benar ibunya. Calista terus saja menangis, ia tidak peduli jika dirinya terlihat lemah. Bellva berdiri, berjalan ke arahnya. Seakan mengatakan agar Calista mendekat.

"Oh Astaga. Tidak mungkin, tidak mungkin. Ibu, kau hidup." Seketika itu Calista menghambur ke pelukan Bellva.

Ia tidak peduli lagi dengan jarak yang memisahkan dirinya dengan Bellva. Orang yang ia rindukan bernapas. Orang itu berada dalam pelukannya, pelukan seorang ibu, ia yang hidup dan nyata.

Perasaan di mana Calista menyalahkan diri sendiri, ketika ia ingat ibunya mati karenanya. Saat itu perlahan perasaan lega muncul. Calista merasa bahagia sekaligus terharu ia tidak akan membenci dirinya lagi. Bibir Calista bergetar, ia bersandar di dada Bellva menantikan agar ibunya membalas pelukannya. Namun, kenapa ibunya tidak berniat membalas pelukannya?

"Ibu, bagaimana bisa Ibu hidup lagi?" tanya Calista sedikit kaget.

Calista mendongak dan melihat Bellva menutup mata seperti menahan napas agar dirinya tidak menghirup sesuatu.

"Ibu?"

Mata Bellva terbuka, iris biru itu saling bertatapan. Dan perlahan Bellva tersenyum, senyum yang Calista rindukan. Yang amat ingin ia lihat.

"Ternyata benar, baumu sangat kuat. Tidak heran Raja Trois ingin memilikimu dan mengikatmu."

Calista melepaskan pelukannya, ia mengusap semua air mata yang terus mengalir di pipinya. Dan ia sama sekali tidak mengerti apa yang baru dikatakan oleh Bellva.

"Maksud Ibu apa?"

Bellva terkekeh, itu aneh. "Apa kau mengira aku ibumu? Bukan, Calista. Aku Maurietta."

Jika Calista bisa membuat sebuah ranting patah, rasanya ... bunyi itu hampir sama dengan hatinya yang patah. Calista pikir, ia sudah bahagia dan merasa ia tidak perlu lagi membenci dirinya ataupun hidupnya. Ternyata semuanya salah, ia masih pantas membenci dirinya. Tubuh Calista membeku mendengar tuturan Bellva—atau mungkin Calista boleh menyebutnya dengan nama —Maurietta. Ucapan itu menyakitinya, ia merasa sangat lega ketika ia menduga jika ibunya masih hidup, dan ia salah. Pemikirannya melambung sangat tinggi lalu terjatuh dengan sangat kejam.

Deg! Deyut jantung itu terasa sakit. Jadi, siapa orang di depannya? Apa ibunya punya saudara kembar? Tidak! Itu tidak mungkin karena ibunya adalah manusia. Atau ... Maurietta ini adalah orang yang mengambil wajah ibunya dan memiripkan wajah mereka?

Calista menggeleng-geleng wajahnya dengan syok. "Lalu kau siapa?!" ia berteriak.

Calista mundur, dan Maurietta memutuskan untuk kembali duduk di singgasananya lagi.

"Tolong duduk, Calista." Perintah Maurietta dingin.

"Tidak!"

"Kita bicarakan baik-baik. Dan aku akan menjelaskan semuanya padamu."

Tidak! Kata itu berseru keras dalam kepala Calista. Ia berniat kabur. Namun, pintu itu tidak mau terbuka. Maurietta menatapnya sangat dingin. Calista tidak pernah melihat wajah ibunya menatapnya dingin, ia juga tidak bisa berbicara baik-baik dengan Maurietta, seseorang yang wajahnya sangat mirip ibunya. Hal itu semakin menambah luka di hati Calista.

"Tolong duduk, Calista."

Calista mengedor-ngedorkan pintu itu, walaupun hal itu menyakiti tangannya. Ia tidak peduli. Calista tidak ingin bertatapan dengan Maurietta.

"Duduklah!" seketika itu suara Maurietta mengema dalam ruangan itu, menghentikan aksi Calista.

Perlahan Calista membalikkan tubuhnya, ia menatap Maurietta sembari menelan ludah. Tanpa bicara Calista memilih duduk di hadapan Maurietta yang hanya terhalang oleh sebuah meja kerja. Calista menyakinkan dirinya ia tidak akan menangis di hadapan wanita ini lagi.

Destiny of the Flora [REVISI❤️] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang