Pagi itu, matahari mulai menampakkan diri. Di langit, awan-awan terhias begitu indah. Dari arah hutan burung-burung berkicau nyaring, dan udara segar menghampiri seorang gadis, membuat rambutnya mulai tersapu angin. Hari ini sama membosankannya seperti biasa. Tidak terlalu sempurna.
Wuuusss!
Sebuah panah menancap tepat pada bulatan tengah papan, digantungkan pada pohon ek besar. Bentuk papan itu bulat, pada tengahnya ada lingkaran penuh kecil merah, dikelilingi garis lingkaran hitam. Panah itu baru saja dilepaskan oleh gadis itu.
Beberapa pegawal yang berada di sekitar gadis itu, mengawasinya dalam diam dengan pandangan menyelidik. Namun dia tidak peduli lagi. Bahkan hanya menganggapnya sekedar angin saja.
Gadis itu menghela napas.
Calista kembali menarik busur dan mengarahkan pada papan panahan, mencoba menarik napas berkali-kali dengan hembusan pelan, agar ketenangan menguasai fokusnya. Akhirnya, anak panah terlepas pada tarikan napas keempat.
Wuuusss!
Anak panah itu melesat dengan cepat, dan lagi-lagi tepat sasaran. Calista menyeringai kecil, sebenarnya sudah berpuluhan kali panah yang dilepaskannya menancap sempurna, dan entah kenapa selalu menimbulkan rasa puas tersendiri.
Calista menyimpan busur dan anak panahnya. Lebih tepatnya meletakkannya begitu saja di bawah kakinya, karena nanti para pelayan akan mengambil dan membereskannya. Ia memang agak sedikit kasar dan tidak bisa bersikap lembut pada barang apa saja.
Calista berada di kediamannya, di taman belakang rumah mewah bertingkat dua yang berada di bukit Fixiland. Bukit Fixiland adalah bukit di mana semua lautan dan gunung-gunung dapat dilihat dengan kasatmata, bahkan dari jauh Calista bisa melihat kerajaan milik ayahnya, Kerajaan Gardenia.
Calista memilih bangku yang dekat dengan pohon ek besar, sisi lain dari letak papan panah yang menghadap ke laut. Ia duduk di sana, mencoba menikmati lautan di bawah bukit yang terlihat jelas. Airnya terlihat bening sekali. Seperti warna matanya.
Di tengah-tengah menikmati lautan, terdengar suara nyaring dari perutnya. Oh astaga, dia lapar. Mata Calista menatap tajam ke arah meja yang berada di sisi kirinya.
"Kenapa pelayan sialan itu belum membawakanku sarapan?" umpatnya dalam hati dengan kesal.
"Lionaa!!" Teriakan Calista kencang dan melengking. Kemarahan terdengar sangat mengental dalam suaranya.
Seorang perempuan berpakaian putih hitam, segera menghampiri Calista dengan tergesa-gesa. Beruntung perempuan itu berdiri tak jauh dari gadis itu. Kalau tidak, kemungkinan besar adalah majikannya akan sangat murka padanya.
Perempuan dengan rambut coklat dan mata coklat madu, langsung membungkuk hormat walaupun ia sadar, majikannya menatap dirinya tajam.
Kemarahan membuat wajah Calista tampak sangat garang. Alisnya mengerut tajam. Rahangnya mengetat keras. Raut lembut ketika ia fokus pada panahan lenyap di wajahnya, hanya menyisakan kemurkaan. Kenapa juga ia harus mempunyai pelayan tidak peka seperti perempuan yang membungkuk di depannya, yang sudah bekerja padanya bertahun-tahun. Ia harus melampiaskan kemarahannya pada pelayan yang membuatnya marah. Hal ini bukan sekali saja terjadi, sudah berkali-kali. Liona Carlinhie, pelayan pribadinya hanya bereaksi ketika ada yang memerintahkannya, selain itu dia sama sekali tidak berguna.
"Apa kau melupakan tugasmu? Berapa kali sudah kubilang. Setelah latihan aku ingin sarapanku sudah ada di meja ini! Kau pelayan sialan tidak berguna. Apa kau mau membuatku mati kelaparan?!"
Mata Liona terbelalak, terkejut luar biasa. Tentu hal ini sudah biasa terjadi padanya. Ia menjawab dengan gagap. "Ma-maaf, My Lady."
"Cepat! Apalagi yang kau tunggu!" mata biru Calista menajam, melotot pada Liona.
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny of the Flora [REVISI❤️]
Fantasia(MASA REVISI SEKALI LAGI) [Fantasi Romance] [Season 1] Calista Angelia Bellvanist kembali ke tempat yang disebutnya Neraka. Malam itu, ia juga kembali ke Chylleland, tempat yang akan menariknya setahun sekali tepat di hari ulang tahunnya. Semua be...