36. Tidak Butuh Siapa Pun

3.1K 229 0
                                    

Calista kenal suara itu.

Ia semakin merinding, gemetar dan ketakutan. Ia sama sekali tidak ingin bertemu dengan orang itu, seakan dirinya dan orang itu tidak bisa dipisahkan.

Peluh mengalir di keningnya. Keadaan menyesak, menikam jantungnya. Padahal suasana hutan cukup dingin.

Orang itu membalikkan tubuhnya hingga mereka berhadapan. Mata Calista langsung bertatapan dengan mata hijau yang sangat ingin ia hindari.

Sangat ingin ia hapuskan dalam hidupnya.

Orang yang menganggu hidupnya.

Al.

Mata Calista mengerjab beberapa kali, mencoba menyakinkan jika ia tidak bermimpi. Sedangkan Al memerhatikan Calista dengan teliti. Penampilan Calista yang kacau, baju yang robek dan berlumpur, ada beberapa luka kecil di wajah, dan paling mencolok di matanya bekas luka di sudut bibir Calista. Perlahan tangan Al merapikan rambut Calista, menghapus keringat di pelipisnya dalam diam. Dan Calista tidak bisa menahan diri untuk tidak menunduk. Kali ini ia tidak sanggup menatap Al. Ia merasa rendah, kenapa di situasi seperti ini Al harus bertemu dengannya. Tubuhnya juga tidak berbohong ia jika ia masih ketakutan.

"Kau gemetar," papar Al. Tangan Al menarik jubah Calista yang sudah lusuh menutupi bahunya yang terpapar polos.

"Apa kau ingin menceritakan sesuatu?" suara Al yang terdengar sangat perhatian membuat Calista tidak tahan untuk menangis.

Kadang Calista tak sanggup hidup saat ia merasa dirinya lemah. Seolah ia hanya berdiri sendirian dalam keramaian. Tidak ada penopang. Hanya sendiri. Ketakutan sendiri. Menangis sendiri. Bahagia ... yang bahkan tak pernah ia pikirkan. Kesepian yang sangat mengental dalam darahnya. Bukan berarti Calista tidak menganggap Niko dalam hidupnya. Hanya saja untuk saat ini Niko tidak ada di sini.

Bibir Calista gemetar. Matanya mulai memanas, apalagi tangan Al menariknya mendekat. Tapi dengan cepat Calista menahannya. Calista tidak boleh bergantung pada siapa pun lagi atau pada Niko. Calista akan mencoba mandiri.

Calista lemah bukan berarti ia tidak bisa bangun sendiri.

Ia bisa. Ia tidak butuh siapa pun lagi.

Tangannya yang terus bergetar memindahkan tangan Al yang berada di pinggangnya.

"Aku...," Calista tercekat.

Tidak butuh siapa pun.

Tapi pikiran dan hati Calista tidak pernah singkron. Tangan Calista berada di lengan Al. Selanjutnya yang Calista tahu, ia mendekat ke arah Al bersandar di sana. Dan mulai menangis.

Walaupun Al tidak begitu mengerti. Al langsung memeluk Calista, mengelus punggung dan rambut gadis itu. Dan tindakannya malah membuat Calista merangkul lehernya. Sebuah senyum tipis hadir di bibir Al, apa artinya ia boleh mengharapkan sesuatu atau melakukan sesuatu.

Rasa sesak dalam dada Calista tidak tertahankan lagi. Kadang ia bingung dengan dirinya. Ia merasa pelukan Al adalah pelukan ternyaman yang pernah didapatnya setelah ibunya. Tubuhnya sudah lemah sejak berlari tadi seakan ia mendapat tenaga baru jika berpelukan dengan Al. Calista tidak melebihkan atau mengada-gada. Ia hanya mengatakan apa yang sebenarnya. Karena kenyataannya, Calista yang biasanya mempunyai harga diri yang sangat tinggi. Harus berakhir di pelukan Al.

Ketika bibir Al mengecup kening Calista lama, secara bersamaan Calista berhenti menangis. Ia terlalu terkejut. Walaupun badannya masih gemetar. Bibirnya memerah karena ia gigit supaya tidak mengeluarkan suara tangis. Lalu Calista merasakan sesuatu dalam dirinya seperti hidup. Sesuatu yang membuatnya mengisi energi tambahan, rasanya seperti orang sakit yang simsalabin sembuh seketika. Ada apa dengan dengannya?

Destiny of the Flora [REVISI❤️] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang