Twenty-four

4.1K 515 11
                                    

Gue gak tau ini karma atau apa, yang jelas saat ini gue beneran hampir gila. Kika gak sadar dan si cewek sialan yang namanya Enji itu bunuh diri. Dan kakak gue, muncul lagi.

Gue butuh Kika. Sangat butuh. Gue butuh dia nenangin gue seperti biasa, meluk gue dan kecup kening gue bilang kalo semua bakal baik baik aja, tapi dia gak mau bangun juga.

"Lo balik dulu yan, biar gue sama Ken nunggu disini." Gio nepuk pundak gue. Gue menoleh terus gelengin kepala.

"Enggak. Gue mau disini aja."

Gue belom mandi sejak Kika masuk rumah sakit. Gue gak pernah beranjak dari sisi dia sampe punggung gue rasanya kram banget.

"Julian, kalo lo kaya gini juga, Kika bakal tambah sedih. Balik dulu, nanti lo balik lagi ke sini sama Waterio. Kalian berdua sama sama kaya orang gila sejak Kika masuk rumah sakit." Gio bersuara lagi. Dan gue akhirnya dengerin apa kata dia.

Gue sama Waterio balik ke apartnya Kika disana ada Nadia sama Rose, mereka pasti lagi tidur karena gak ada satupun dari kita yang tidur cukup selama beberapa hari ini.

"Kika gak akan kenapa napa kan yan?" Waterio ngomong pelan banget, dan matanya lurus natap ke arah jalanan.

Gue hela nafas, berat banget rasanya.

"Gue yakin dia akan bertahan yo. Dia harus bertahan."

Kemudian hening. Gue sama Waterio sama sama diem gak bersuara sama sekali.

Andai gue berenti ngasih harapan palsu sama cewek cewek lain, Kika gak akan kaya gini. Denis juga gak akan murka. Julian emang bodoh.

Sampe apart gue masuk kamar Kika. Mandi dan rebahan sebentar.

Gue ketiduran dan kebangun karena ponsel gue nyala.

"Kenapa Ken?" Gue nanya dengan mata setengah terpejam.

"Kika sadar. Dan nyariin elo." Mata gue sepenuhnya terbuka. Gue buru buru bangun dan nyamber kunci mobil yang ada dinakas.

Keluar kamar suasana sepi banget, mungkin yang lain masih tidur. Gue bodo amatin dulu lah langsung gas ke rumah sakit.

Puteri tidur akhirnya bangun juga.

---

"Kika.." Gue masuk kedalam ruangan dimana Kika berada. Dia udah dipindah ke ruang inap biasa.

Dia noleh dan mata kita ketemu.

"Sini." Katanya pelan banget. Sambil senyum.

Gue setengah lari nyamperin ranjang Kika, dia posisinya setengah duduk dan gue langsung meluk dia nangis dipelukannya. Meluapkan semua emosi yang gue rasakan beberapa bulan terakhir.

"Jangan gitu lagi. Gue berasa mau gila."

Dia ngelus rambut belakang gue. Terus ngecup leher gue pelan. Kebiasaannya setiap nenangin gue kalo lagi galau.

"Maafin gue ya.. Lo sama yang lain jadi susah. Gue sayang kalian. Maaf udah kekanakan kaya gini."

Gue melonggarkan pelukan gue ditubuhnya. Gue mundur dan natap matanya.

"Kamu gak pernah ngerepotin siapapun. Kita cuma khawatir dan gak pernah nganggep kamu ngerepotin sama sekali.

Janji sama aku ya sayang, jangan kaya gini lagi. Ayo berjuang sama sama." Gue ngelanjutin perkataan gue dan diakhiri dengan kecupan panjang dibibirnya yang mengering.

She is my home. Always.

Friends With Benefits ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang