29

38.2K 4.2K 309
                                    

Lintang dan ibunya Alfin kompak menatap kepergian Alfin. Lalu saling pandang saat Alfin telah hilang dari pandangan.

"Yuk bantuin tante," ajak Tante Rita antusias. Berlari kecil menuju bahan-bahan yang tadi sempat ditinggalkannya.

Lintang menurut saja. Ia mengikuti wanita paruh baya itu. Lalu meletakkan tas sekolahnya di kursi yang ada di dekat sana.

"Lintang bantu Tante bulet-buletin selai nanasnya," kata Tante Rita menyodorkan sepiring selai nanas dan sebuah piring kosong.

Lintang lagi-lagi hanya menurutinya. Ia pikir mungkin Tante Rita akan menanyakan perihal Alfin dengan cara yang tidak terlalu serius di sela-sela mereka membuat kue bersama.

Lintang terus saja mencuri padang ke arah Tante Rita. Ia ingin lebih cepat ditanyai supaya ia tak berlama-lama di sini. Tapi lama menunggu, Tante Rita tak juga bertanya, bahkan dirasa Lintang, Tante Rita lebih diam dari terakhir kali Lintang datang. Ah lagi-lagi, mendapati orang yang sering bicara tiba-tiba jadi sangat diam sungguh mengganggunya.

Lintang menarik nafas panjang. Memutuskan untuk lebih dulu bertanya saja.

"Tante," panggil Lintang pelan.

Tante Rita menoleh tersenyum dengan raut antusiasnya yang khas.

"Alfin bilang, Tante yang minta Lintang main ke sini," ucap Lintang merasa aneh dengan kata-katanya sendiri. Terdengar amat manis dan ramah, jelas tidak seperti seorang Lintang.

Tapi Tante Rita mengangguk saja untuk membenarkannya, sambil tersenyum dengan manis. Setelah itu kembali sibuk dengan adonan kuenya. Tidak seperti yang diharapkan Lintang.

Tak berapa lama kemudian Alfin kembali. Lintang sedikit heran melihat penampilannya.

"Kau tidak kerja?" tanya Lintang memandangi penampilan rumahan Alfin.

Kaos oblong warna peach dengan celana kain warna hitam sepanjang lutut. Terakhir menggunakan sendal sejuta umat yang berwarna putih dengan garis biru bertuliskan Selow (:v) di atasnya.

"Ini hari liburku," jawabnya melongok penasaran dengan apa yang sedang dilakukan ibunya. Sejujurnya sedang berusaha untuk tidak menatap Lintang secara langsung. Khawatir akan merasakan hal-hal aneh lagi.

Tapi Lintang merasakan keanehan tingkahnya itu. Mengerutkan alis menatapi Alfin heran. Lalu pelan-pelan ia menarik lengan Alfin. Padahal Lintang melakukannya dengan lembut, tapi Alfin terkesiap hingga tanpa sengaja menarik nafas dalam, menoleh menatap Lintang.

Lintang menariknya lebih dekat lagi. Menekan pundak Alfin agar ia mau sedikit merendah untuk bisa membisik di telinganya.

"Ibumu belum tanya apa pun padaku," bisik Lintang.

Alfin merasakan jantungnya sudah seperti mau meledak saja mendapat perlakuan sederhana itu. Nafasnya terasa pengap dan kini badannya terasa panas dingin. Lintang sudah melepaskan pegangannya di pundak Alfin. Tapi jantung Alfin masih saja berdegup hebat, bergemuruh seperti genderang perang.

Alfin menatap Lintang, tanpa tahu apa yang ia pikirkan. Sedangkan Lintang balas menatapnya datar seperti biasanya. Lintang menggerakkan kepalanya sedikit menatap Alfin penuh makna. Isyarat agar Alfin mulai bicara saja pada ibunya.

Alfin mengerjap, mendapatkan kembali fokusnya yang sempat hilang entah kemana. Ia lalu melirik ibunya yang masih sibuk dengan adonan kue. Tersenyum tipis, bersenandung pelan kelihatan senang. Membuat Alfin kembali ragu untuk menceritakannya. Takut akan merusak raut bahagia itu. Ia kembai menoleh pada Lintang.

Lintang menghela nafas pelan, tahu apa yang terjadi setelah melihat wajah lesu Alfin itu. Lintang menepuk lengan atas Alfin pelan. Mengangkat dagunya isyarat agar Alfin tetap melakukannya. Alfin menatap Lintang penuh keraguan. Dan Lintang lagi-lagi menaikkan dagunya, memaksa.

Kelas A [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang