29/Kebahagian

5.5K 197 5
                                    

Abian Pov

Haruskah aku menyalahkan diriku sendiri?
Atau haruskah aku memaki diriku ini?
Jika melakukan itu membuat wanitaku kembali disisiku aku rela.
Bahkan jika perlu aku rela menukar nyawaku demi senyuman diwajahnya.

Bahkan setahun yang lalu aku tidak membayangkan kehidupanku kedepannya seperti apa.
Merangkai gambaran kehidupan indah bersama Dara tidak pernah ada dalam benakku.

Terkutuklah aku karna hanya dalam waktu hitungan detik aku membuatnya mempertaruhnya nyawa didalam sana memperjuangkan nyawanya dan juga buah cinta kami.

"Minumlah, tenangkan dirimu" kulirik sekilah sebuah tangan menyodorkan air mineral dalam botol.
Bahkan untuk menerimanya saja tenagaku terasa tidak sanggup.

Pikiranku kacau.
Hatiku kalut.
Cemas, sedih semua bercampur jadi satu.

"Dara pun tidak akan senang melihatmu seperti ini. Ambilah" aku tau wanitaku tidak akan menyukai aku dengan raut tegang namun keteganganku ini karna ulahku sendiri.

Sungguh aku tidak pernah berniat menyakiti mereka bertiga.
Mereka hidupku.
Separuh nyawaku ada pada mereka.

"Sayang, minumlah tenangkan pikiranmu yakinlah kalau Dara kita kuat oke" aku mengangguki ucapan mama lantas menerima air mineral dari bang Ovi.

"Semua akan baik baik saja"

"Tapi semua ini karnaku bang, aku yang ceroboh" selama tiga puluh tahun seingatku baru kali ini aku menangis meraung dipelukan abangku.

"Jangan jadi bodoh dengan menyalahkan dirimu, kau calon ayah kau kepala rumah tangga jangan menunjukan kelemahan disini" Ujar bang Ovi mencoba menenangkanku.

"Jangan menangisi yang sudah terjadi, saat ini kita hanya bisa berdoa, terutama doamu. Istri dan anak anakmu membutuhkan doa dan semangat darimu, jangan jadi lemah" Aku lebih tenang setelah ucapan terakhir bang Andra yang menyahuti seakan tau kekalutan yang aku rasakan.

Tiba tiba dokter keluar dari ruangan yang menangani Dara.
"Keluarga Nyonya Dara Alfarizi"
Segera aku bangkit seraya menghapus sisa air mataku.
Aku semakin merasa pengecut saat air mata ini keluar.
Bahkan bukan karna kejadian ini yang kutangisi.
Aku menangisi karna aku kalah tidak bisa menjaga anak dan istriku. Dan brengsek akulah penyebab semua ini.

"Bagaimana keadaan istri saya" kudengar pertanyaan yang sama dari mamaku sesaat setelah aku.

"Nyonya Dara mengalami pendarahan dan kami harus segera menyelamatkan bayinya"

"Apa maksudnya dok?" kali ini suara papaku menyahuti.

"Pendarahan itu menyebabkan air ketubannya pecah dan kami harus segera menyelamatkan bayinya dengan cara oprasi, dan dengan sangat menyesal kami harus mengatakan ini bahwa akan ada nyawa yang dikorbankan disini" Seakan dunia ini runtuh mendengar kata dokter tersebut.

Wanitaku anak anakku.
Ohh tuhan kenapa harus mereka, kenapa bukan aku.
Aku terduduk lemas dibangku yang tersedia lantas disusul mamaku mencoba menenangkan diriku.

"Lakukan yang terbaik untuk menantuku dan juga cucu cucuku, berapapun biayanya akan saya bayar"

"Kami akan melakukan yang terbaik, permisi"

Aku tidak pernah berfikir sampai dititik ini. Dan disinilah titik terendahku melihat wanitaku kesakitan.

"Ma, aku menyakitinya" kembali aku merengek layaknya bocah lima tahun yang meminta mainan pada ibunya.

"Tidak sayang, bukan kamu. Semua ini sudah takdir kita hanya bisa menjalaninya dan berdoa"  beruntunglah aku mempunyai mama seperti dirinya.

Bukan hanya mama kedua abangku dan papaku juga sesekali menenangkanku.
Aku benar benar kacau sekacau kacaunya.

Posesif HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang