Ralph
Lisa langsung membungkamku dengan ciumannya begitu kami sampai di apartemenku. Mataku melirik sekeliling dan menyadari kalau apartemen ini masih jauh dari kata siap untuk dihuni. Namun, aku tidak punya tempat lain untuk membawa Lisa, dalam keadaan basah kuyup seperti ini.
Lisa merangkul pundakku, sebuah posisi yang kutahu membuatnya sangat tidak nyaman karena perbedaan tinggi badan di antara kami yang sangat jauh. Dalam satu sentakan, aku mengangkat tubuhnya hingga kepalanya sejajar denganku. Dengan begitu, aku bisa lebih leluasa menjelajahi bibirnya. Lisa melingkarkan kakinya di pinggangku, membuatku harus bisa menahan diri agar kami berdua tidak terjatuh ke lantai yang berdebu.
Sambil terus menciumnya, aku membopong Lisa melintasi ruangan apartemenku. Sekilas, aku bisa melihat beberapa perabotan yang sudah mulai dipasang tapi masih ditutupi kain putih. Ingatanku memutar kembali email terakhir dari Lisa, mencari tempat yang pas dan bisa dihuni malam ini.
Mataku menangkap sofa yang terletak di ujung ruangan. Sofa itu ditutupi kain putih sehingga aman dari debu. Dengan langkah tergesa-gesa, aku membawa Lisa ke sofa itu. Aku menyingkap kain penutup dengan kaki.
Sofa itu tidak begitu besar, dan tentu saja tidak bisa menampung seluruh tubuhku. Tapi, aku tidak punya pilihan lain. Perlahan, aku merebahkan Lisa di sana.
Dia memejamkan mata ketika aku menindih tubuhnya. Giginya bergemeretak ketika aku melepaskan ciuman dan menyadari dia pasti kedinginan karena basah kuyup. Seharusnya aku menghentikan semua ini, tapi tubuhku seakan mengambil kendali penuh dan membuatku tidak kuasa untuk menolaknya.
"Kiss me."
Bisikan itu terasa begitu menyentuh sehingga aku pun mencium Lisa dengan lembut, tidak lagi menggebu-gebu. Perlahan, kurasakan jari Lisa menggelitik dadaku ketika dia mencoba membuka kancing kemejaku. Aku tidak menolak, bahkan ketika semua kancing itu terlepas dan Lisa menyentuh dadaku. Darahku berdesir saat merasakan sentuhannya.
Lisa membuka matanya dan menatapku. Dia memalingkan wajah, sehingga aku mengalihkan ciuman ke rahangnya, berlanjut ke telinganya.
"Are you sure about this?" tanyaku, berharap dia berkata iya sekaligus ada keinginan agar dia menyuruhku berhenti.
Lisa menatapku dan tangannya kian bergerak bebas menyentuh tubuhku. Dia melepaskan kemejaku dan membelai punggungku.
"Yes."
Aku mencoba membaca arti tatapannya, tapi tatapan itu masih sama. Tampak putus asa, sehingga aku tidak yakin apakah dia benar-benar menginginkan ini.
"Your eyes said no."
Lisa tergelak. "You want to say no."
Aku menggeleng dan mencium lehernya, sebelum menjawabnya. "I want to do this since the first time I met you."
"Why?"
"Because you're beautiful."
Tawa Lisa kian kencang, hingga tubuhnya terguncang. Namun, setetes air mata mencuri keluar mengaliri pipinya. Aku ingat malam itu, ketika dia menangis tersedu-sedu di hadapanku.
Namun, Lisa mengusap air mata itu dengan punggung tangannya. "Do you think if I were prettier he would have loved me?"
Aku tidak mengerti maksud pertanyaannya, tapi aku yakin pertanyaan itu ada hubungannya dengan pria yang memutuskan hubungan dengannya. Aku ingin tahu siapa pria itu, dan mengetahui alasan dia menyia-nyiakan perempuan seperti Lisa.
Aku memang tidak mengenal Lisa, tapi kerapuhan yang dimilikinya menggerakkan hatiku untuk melindunginya, meski aku tahu aku tidak punya hak untuk melakukan hal tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
(COMPLETE) Love & Another Heartache
RomanceRalph Williams leads dual life. Nobody knows his secret life as a professional male escort. Except one woman who he called Daisy. Lisa Ariana decided to spent three weeks in Melbourne after she called off her wedding. On the night who supposed to be...