Lisa
Dari balik tirai jendela, aku bisa melihat Ralph berdiri di samping mobilnya yang terparkir di depan rumahku. Sudah setengah jam dia di sana. Aku tidak tahu dia berangkat dari jam berapa hingga sepagi ini dia sudah berada di sini.
Bukan kali ini saja. Selama seminggu terakhir, aku mendapati dirinya berada di depan rumahku sejak pagi. Awalnya dia meminta agar naik ke mobilnya, tapi aku tidak menghiraukannya. Later that I know, dia mengikutiku dari belakang. Keesokan harinya, dia kembali datang. Tidak lagi memintaku untuk berangkat ke kantor bersamanya, tapi dia memastikan selalu berada di belakang mobilku.
Mungkin ini caranya membuktikan kata-katanya, bahwa dia tidak akan meninggalkanku.
Bukan hanya pagi ini, dia juga selalu mengiringi mobilku setiap malam, tidak peduli selarut apa pun aku pulang. Dia akan memastikan aku selamat sampai di rumah, dan baru beranjak ketika aku sudah mematikan lampu. Kadang, aku langsung mematikan lampu begitu sampai di rumah agar dia segera pergi.
Namun, dia selalu kembali lagi keesokan harinya, menyetir beriringan tanpa sepatah kata yang terucap dari bibirnya.
Aku bisa melihat raut lelah di wajahnya. Menyetir sekian jam setiap malam untuk sampai ke rumahku, lalu kembali lagi ke apartemennya dan esok paginya dia kembali datang. Tentu saja tindakan itu memangkas jam tidurnya.
Sejujurnya, aku tidak tega membiarkannya. Namun, aku tidak bisa memintanya untuk berhenti bersikap seperti ini. Percuma, karena aku tahu betapa keras kepalanya dia. Lagipula, aku tidak sanggup menemuinya, dan melihat wajah lelahnya, karena hatiku pasti akan luluh.
Pagi ini kembali berjalan seperti biasa. Aku melirik Ralph dari ujung mata ketika berjalan menuju mobilku. Di sepanjang perjalanan, aku bisa melihat mobilnya tepat berada di belakangku, hingga akhirnya dia memarkir mobilnya tepat di samping mobilku di parkiran gedung kantor. Aku yakin, aku akan menemuinya lagi nanti malam, dan dia akan mengulang hal yang sama.
Mataku bersitatap dengannya ketika sedang menutup pintu mobil. Aku menggeleng lemah, memintanya menghentikan aksi gilanya ini. Namun, dari sorot matanya aku tahu dia tidak akan berhenti.
Tidak, sampai keinginannya terpenuhi.
Ralph
Hari ketujuh, dan Lisa masih belum memberiku kesempatan untuk bicara dengannya. Dia menolak ketika aku mengajaknya untuk ke kantor bersama, dan bersikeras untuk menyetir sendiri. Menyadari keadaannya, aku tidak bisa melepasnya berangkat sendiri. Itulah yang membuatku bertingkah seperti seorang penguntit, membuntuti mobilnya setiap pergi dan pulang bekerja.
Lisa tampak keberatan, tapi dia masih memasang aksi bisu dan tidak berkata sepatah kata pun. Dia memang keras kepala, dan aku membalasnya dengan kekeraskepalaan yang sama.
Pagi ini, untuk pertama kalinya aku bisa menatap langsung ke matanya, setelah selama ini dia hanya membuang muka setiap kali melihatku. Dia menggeleng lemah, dan kutahu dia memintaku untuk berhenti.
Aku tidak akan berhenti sampai dia memberiku kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Meski untuk itu, aku harus menjadi seperti zombie karena hanya tidur dua jam setiap hari, dan bertingkah seperti orang gila yang membuntutinya.
This is my way to keep my promise.
Lisa
Aku menghela napas panjang ketika sampai di rumah. Dari kaca spion, aku bisa melihat mobil Ralph yang berhenti tepat di depan rumahku. Dia keluar dari mobilnya dan bersandar di sana, mengawasiku hingga aku mengunci pintu tepat di depannya.
He's so stubborn. Tindakannya lama-lama membuatku sesak karena tidak ada ruang untuk bergerak.
Ini harus berakhir. Aku tidak bisa terus-terusan terperangkap seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
(COMPLETE) Love & Another Heartache
RomansaRalph Williams leads dual life. Nobody knows his secret life as a professional male escort. Except one woman who he called Daisy. Lisa Ariana decided to spent three weeks in Melbourne after she called off her wedding. On the night who supposed to be...