PS: This is my favorite part, so far. Because we had a little glimpse of Ralph's life in the past.
Ralph
Aneh. Melbourne seharusnya menjadi tempat yang paling familiar untukku. Ketika harus menginjakkan kaki kembali di sini, aku malah merasa asing.
Sepertinya, Melbourne tidak pernah menjadi rumahku, sekalipun aku menghabiskan 36 tahun hidupku di sini.
Pekerjaan mengharuskanku untuk kembali ke tempat yang dengan sengaja kutinggalkan. Selama tiga hari aku mencoba menggali ingatan tentang Melbourne, mencari sedikit saja kenangan manis yang kualami di sini, tapi tidak ada satu pun memori yang berhasil kuingat.
Malah sebaliknya, semua kepahitan muncul satu per satu, menghantuiku.
Di hari terakhirku di Melbourne, dan jadwal yang sedikit lowong, aku malah mendapati diriku berkendara ke arah selatan Melbourne. Tulisan Dandenong menyapu penglihatanku ketika mobil yang kukendarai melaju memasuki kawasan yang sangat tidak bersahabat ini.
Aku masih ingat hasil sensus terakhir yang kubaca, dan sama seperti tahun-tahun sebelumnya, Dandenong masih menjadi tempat paling tidak bahagia di Melbourne. Banyaknya pengangguran, tingkat kriminalitas yang terus meningkat dari tahun ke tahun, membuat kawasan ini memiliki tingkat depresi yang tinggi.
Ibuku salah satu buktinya.
Seandainya dia tidak memilih tinggal di tempat ini, mungkin keadaan kami akan sedikit berbeda. Aku mungkin akan mencari uang tambahan di jalan yang seharusnya untuk menyambung hidup. Namun kemiskinan membuat kami hanya mampu tinggal di daerah ini.
Aku memarkir mobil di depan convenient store dan beranjak keluar. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencoba mencari rasa familiar yang seharusnya kumiliki. Di depan convenient store, ada sekelompok remaja yang berbagi bir dan drugs, membiarkan diri mereka bertingkah bodoh. Beruntung, aku tidak pernah ikut-ikutan bersikap bodoh ketika seusia mereka.
Dari depan convenient store, aku menelusuri jalanan yang sepi di pagi ini. Suasana yang muram melemparkanku ke masa kecil, ketika aku menelusuri jalanan ini mencari keberadaan ayah. Aku selalu menemukannya dalam keadaan teler di bar lokal di ujung jalan, dan memintanya pulang. Upayaku selalu berakhir dengan umpatan dan pukulan, lalu aku akan pulang sambil menahan tangis, menghadap ibu yang juga memarahiku karena tidak berhasil membawa ayah pulang.
Bar itu masih ada. Masih suram, seperti yang ada di ingatanku. Meski masih pagi, suara tawa serak terdengar dari dalam sana. Mereka, para pengangguran yang menyia-nyiakan hari dengan bermabuk-mabukan. Dulu, ayahku salah satu di antara mereka.
Di ujung jalan itu, aku berbelok hingga tiba di rumah susun kumuh yang dulu kutempati. Lama aku berdiri di depannya, mengabaikan gerutuan orang-orang yang merasa terganggu dengan kehadiranku.
What would I be if I stay here?
Mungkin aku sudah ikutan mati seperti ibu. Atau menjadi pria tidak berguna yang sepanjang hari mabuk-mabukan di bar ujung jalan.
"Ralph?"
Panggilan itu membuatku tersentak. Rasa awas langsung membuatku siaga. Seharusnya tidak ada lagi yang mengenalku di sini, karena sudah lama sejak aku meninggalkan tempat ini.
Aku berbalik dan mendapati Shelby melambai dari seberang jalan. Refleks bibirku terkembang membentuk senyuman. Keadaan ini persis seperti delapan belas tahun lalu, saat aku menemui Shelby di sini.
Aku melangkah menyeberangi jalan dan langsung memeluk Shelby. Di usianya yang berada di pertengahan lima puluhan, dia masih cantik, secantik ketika aku pertama kali melihatnya dulu.

KAMU SEDANG MEMBACA
(COMPLETE) Love & Another Heartache
RomansaRalph Williams leads dual life. Nobody knows his secret life as a professional male escort. Except one woman who he called Daisy. Lisa Ariana decided to spent three weeks in Melbourne after she called off her wedding. On the night who supposed to be...