Ralph
"Aku enggak keberatan kontrol ke dokter sendiri." Lisa memainkan jariku yang ada di genggamannya. "Aku tahu kamu benci rumah sakit."
Ucapannya membuatku tertawa. Tentu saja dia tidak lupa ketika aku menolak mentah-mentah saat akan dibawa ke rumah sakit beberapa bulan lalu. Ditanya saat ini pun, aku masih tidak menyukai rumah sakit. Bahkan beberapa menit lalu, ketika aku sampai di rumah sakit ini. Meskipun rumah sakit ini sangat jauh berbeda dengan rumah sakit murah tempatku dirawat dulu, dengan gedung yang terang dan megah, tetap saja semua hal itu tidak bisa menyembunyikan aura suram yang dipancarkannya.
Namun aku tidak mungkin membiarkan Lisa pergi sendiri.
Lagipula, aku ingin bertemu bayiku karena di pertemuan pertama hanya ada Lisa dan saat itu aku belum mengetahui kehadirannya.
Setelah cukup lama berada di ruang tunggu ini, perlahan aura suram itu menghilang. Anehnya, aku tidak lagi merasakan kebencian itu.
"Are you okay?"
Aku tersenyum dan mengangguk. "Sepertinya rumah sakit tidak semenyedihkan yang pikir." Aku memandang sekeliling. "Look around you. I love to see kids running around like that."
Aku tidak mengada-ada. Banyak anak-anak kecil berlarian di sini, atau sekadar bermain di pojok yang disulap menjadi tempat bermain. Meskipun mereka saling berteriak dan tampaknya tidak mau mengalah, aku justru menikmati kebisingan ini.
"Ada banyak calon ayah yang harap-harap cemas di sini, tidak sabar menunggu untuk bertemu anaknya. Juga ibu yang tidak henti-hentinya tersenyum bahagia. Melihat mereka membuatku sadar bahwa rumah sakit tidak hanya tentang kematian." Aku menghela napas panjang. "There's life."
Lisa merebahkan kepalanya di pundakku. "Are you one of them?"
"Who?"
"Calon ayah yang tidak sabar menunggu waktu bertemu dengan anaknya?"
Refleks tanganku terulur menyentuh perut Lisa. Belum ada perubahan berarti di sana, tapi aku tahu di dalam sana ada calon anakku yang kian lama kian besar, membuatku tidak sabar ingin segera bertemu dengannya.
Ada banyak yang ingin kuceritakan kepadanya. Ada banyak yang ingin kulakukan bersamanya. Aku ingin membacakan cerita untuknya setiap malam, membuatkannya sarapan, jika perlu membuatkan bekal untuk ke sekolah. Aku akan mengajaknya bermain bola atau berenang atau apa pun yang dia inginkan. Aku tidak akan menolak jika dia menangis minta ice cream. Aku akan mengajaknya keliling dunia.
Aku akan memberikannya kehidupan yang tidak pernah kumiliki dulu.
Namun yang paling penting, aku akan memberikannya cinta sebesar yang aku punya agar dia tidak merasa kesepian dan hilang arah seperti yang kurasakan dulu.
"Honey?"
Aku tersentak. Terlalu dini untuk berpikir sejauh itu.
"Of course I am." Aku membelai perut Lisa, berharap anakku bisa merasakannya.
"Lisa Ariana?"
Lisa mengangkat kepalanya dari pundakku ketika perawat memanggil namanya. Aku bangkit berdiri tanpa melepaskan Lisa dari genggamanku, karena sejujurnya aku gugup untuk bertemu anakku.
"Baby, I think you should change your name," ujarku, mengalihkan perhatian pada hal lain. "You'll officially be a Williams in weeks."
Di sampingku, Lisa tertawa. "Alright. I'll be Lisa Williams since now."
Aku mencoba tertawa, tapi hanya bisa meringis ketika melangkahkan kaki memasuki ruang periksa.
Lisa
KAMU SEDANG MEMBACA
(COMPLETE) Love & Another Heartache
RomanceRalph Williams leads dual life. Nobody knows his secret life as a professional male escort. Except one woman who he called Daisy. Lisa Ariana decided to spent three weeks in Melbourne after she called off her wedding. On the night who supposed to be...