Lisa
Today is supposed to be my wedding day.
Namun, aku malah berada ribuan kilometer jauhnya dari Jakarta. Melarikan diri dari kenyataan buruk yang kutinggalkan di sana.
Seakan tidak peduli seberapa jauh aku pergi, kenyataan itu terus saja menghantuiku. Lewat pesan singkat bernada prihatin, atau pertanyaan menyebalkan, dan simpati yang terus diberikan untukku, seolah-olah aku ini orang paling menyedihkan sedunia.
Ya, aku memang orang paling menyedihkan sedunia.
Di saat seharusnya aku mengucapkan janji pernikahan dengan pria yang kucintai, aku malah meringkuk di kamar hotel yang seharusnya menjadi tempatku memadu kasih di honeymoon yang sudah kurancang.
Holly mother of shit.
Ponselku berdering, tapi sedikitpun tidak ada niat untuk mengangkatnya. Aku bisa menebak siapa yang meneleponku. Mama, yang masih menyesali kenapa aku mengambil keputusan ini. Kadang aku berpikir, apa dia benar-benar ibuku? Bukannya menghiburku yang bersedih karena batalnya pernikahan, dia malah menyalahkanku karena baginya tidak mungkin si brengsek itu membatalkan pernikahan kami. Ini pasti salahku.
Seriously? I don't need your sympathy, mother.
Sekali lagi, ponselku berdering. Si brengsek yang ingin memastikan aku tidak mengambil sepenuhnya uang muka gedung dan wedding organizer. Aku bahkan tidak berniat menyentuh sedikitpun uang itu. Jika dia ingin mengambil semuanya, aku tidak peduli. Selama aku bisa memutus hubungan selama-lamanya dengan si brengsek itu.
Setelah sempat berhenti, ponselku berbunyi lagi. Aku mengangkat kepala dan menatap ponsel yang berada di nakas di samping tempat tidur. Orang ketiga, Mikha, sahabatku, yang menyuruhku untuk melarikan diri ke Melbourne daripada diam di Jakarta dan berduka sendiri. Awalnya aku menolak, tapi Mikha malah membeli tiket tanpa sepengetahuanku. Dan seharusnya aku berterima kasih padanya karena ternyata, liburan ini cukup menghiburku.
Tanganku terulur menyentuh ponsel. Benar saja, itu Mikha. Dan dia tidak akan berhenti sebelum aku mengangkat teleponnya.
"Ngg...." Dengungku malas-malasan.
"Di mana lo?"
"Hotel."
"Sendiri?"
Aku tertawa pelan. "Menurut lo?"
"Mungkin lo ketemu cowok siapa gitu..."
"Gue lagi patah hati, Mikha." Aku menggeleng sendiri, meningkahi ide tidak masuk akal yang sering melintasi benak Mikha.
"Justru itu. Patah hati obatnya cowok baru."
Aku tertawa tipis. She's still in her early twenties jadi tidak mengherankan jika di benak Mikha hidup itu bisa dijalani dengan mudah. Berbeda denganku yang hampir menginjak akhir dua puluhan. Mengalami pernikahan yang batal. Tentu saja hidup tidak semudah itu. Dan mengobati patah hati tidak semudah mencari pria baru.
"I don't want to end up in my bed with some stranger who I met at some pub." Aku berkata tegas.
"Sometimes you have to do that."
"Thank you very much."
Di seberang sana, Mikha tertawa, tapi hanya sebentar karena dia kembali terdiam dan berkata serius. "Jadi, apa rencana lo hari ini?"
"Just sleep maybe?"
"Jauh-jauh ke sana cuma buat tidur?"
"Sayang aja gue udah bayar hotel mahal-mahal tapi enggak dipakai tidur."
KAMU SEDANG MEMBACA
(COMPLETE) Love & Another Heartache
RomanceRalph Williams leads dual life. Nobody knows his secret life as a professional male escort. Except one woman who he called Daisy. Lisa Ariana decided to spent three weeks in Melbourne after she called off her wedding. On the night who supposed to be...