Lisa
"Makanan yang enak di sini apa, ya, mbak?"
Aku melirik perempuan muda dengan rambut dicat hijau terang di sampingku. Dia tengah memandang ke seantero kantin, lalu menatapku, menungguku memberinya jawaban.
"Soto Padang yang di ujung, atau masakan Manado di sampingnya," jawabku ala kadarnya.
Perempuan itu, Mia, hanya mengangguk. "Aku enggak bisa makan makanan pedas."
Aku menatapnya dengan dahi berkerut, tidak tahu cara menanggapinya.
Ini hari pertama Mia menjadi intern di kantor, dan Donny langsung menunjukku menjadi mentornya. Siang ini, dia mengekoriku ke kantin, hanya berdua karena Mikha ada janji makan siang dengan kakaknya. Sebenarnya, Mia sosok yang menyenangkan dalam berdiskusi soal pekerjaan. Dia juga kreatif, meski baru setengah hari bekerja, aku bisa merasakan antusiasnya dalam bekerja. Namun, sikapnya yang sangat riang dan menggebu-gebu itu lumayan menyerap energi, sehingga membuatku kewalahan.
Namun, aku mencoba maklum. Bukankah kebanyakan perempuan 20 tahun selalu penuh semangat seperti itu.
"Aku beli soto ayam aja, deh. Eh, apa sop iga ya?" Dia kembali menatapku. "Mbak mau makan apa?"
"Manado." Aku menjawab singkat.
Mia cemberut karena tidak bisa mengikuti makanan pilihanku. Namun, tidak urung dia malah mengikutiku menuju counter makanan Manado.
"Itu mas Donny makan sendiri?"
Aku mengikuti arah telunjuk Mia dan mendapati Donny tengah menyantap makan siangnya dengan satu tangan memegang ponsel. Seakan mengerti dia sedang diperhatikan, Donny mengangkat wajah dan tersenyum. Dia meletakkan ponsel di meja dan melambai, disambut dengan lambaian tangan penuh semangat dari Mia.
"Kita samperin yuk, mbak."
Aku mengikutinya dengan senyum terkulum. Ketika Mia datang, anggota timku langsung bertaruh, berapa lama sampai Mia akan jatuh hati pada Donny.
"Sendirian, Don?" tanyaku.
"Si Jom nge-ditch gue tiba-tiba. Ketemu gebetannya dari lantai sepuluh." Donny mengalihkan tatapannya ke Mia yang tersenyum lebar di sampingku. "Hai, Mi."
"Hai, Mas Donny. Mas Donny makan apa?"
Mia mencondongkan tubuhnya ke dekat Donny untuk melihat makan siang Donny. Kaosnya yang berleher rendah sama sekali tidak bisa menyembunyikan dadanya saat membungkuk. Donny bersiul meningkahi pemandangan di hadapannya, lalu mengalihkan wajah kepadaku. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihatnya.
"Aku makan kayak Mas Donny aja, deh. Aku makan di sini, ya."
Tanpa menunggu jawaban Donny, Mia sudah berlalu.
"Too much energy." Aku menimpali, sepeninggal Mia.
Donny tersenyum, tapi aku bisa membaca niat lebih di balik senyumannya itu.
"Jangan macam-macam. Kita lagi punya banyak klien, dan kehadiran Mia itu ngebantu banget. Gue enggak mau ketimpahan kerjaan tambahan kalau dia berhenti." Aku menatap Donny serius.
Tapi, pria itu hanya tertawa terbahak-bahak, seakan-akan aku baru saja melucu, bukan melawak.
Tidak meningkahi Donny, aku berjalan menuju counter makanan.
"Lo makan di sini, kan?"
Aku berbalik dan menggeleng. "Di sini pengap. Gue bawa ke atas aja."
"Trus, lo ninggalin gue sama Mia? Lo yakin?"
KAMU SEDANG MEMBACA
(COMPLETE) Love & Another Heartache
RomanceRalph Williams leads dual life. Nobody knows his secret life as a professional male escort. Except one woman who he called Daisy. Lisa Ariana decided to spent three weeks in Melbourne after she called off her wedding. On the night who supposed to be...