Lisa
Aku lupa caranya bernapas.
Dengan mata tertuju ke test pack yang terletak di atas wastafel, aku mencoba menghitung detik demi detik yang berlalu begitu lama. Rasanya sudah seperti seabad sejak aku mencelupkan test pack itu ke dalam wadah berisi urine, tapi hasilnya belum terlihat.
"So, it's false alarm?"
Di sebelahku, Mikha juga sama tegangnya. Dia memaksa menemaniku pulang, karena jika dugaanku benar, dia tidak yakin aku bisa menghadapinya sendiri. Berhubung aku terlalu lelah untuk berdebat, aku pun mengizinkan Mikha menemaniku. Melihat sosoknya berdiri di sampingku, dengan tatapan lurus tertuju ke test pack di atas wastafel, aku bersyukur dia ada di sini. Mikha benar, aku tidak sanggup menghadapi ini sendiri.
Napasku tercekat saat samar-sama muncul garis berwarna merah di test pack itu. Lama-lama, garisnya kian jelas hingga terpampang nyata.
Bukan satu, melainkan dua garis.
"So, it's not false alarm." Mikha bergumam, setelah sekian menit berlalu dalam keheningan.
Aku tidak menjawab. Pandanganku tertuju ke test pack itu, tapi rasanya seperti di awang-awang. Garis merah itu terlihat jelas, tapi mataku yang berkabut membuatnya tampak samar-samar.
Kurasakan Mikha menggandeng lenganku dan merebahkan kepalanya di pundakku.
"Dia bakal tanggung jawab, kan?"
"Dia?"
Mikha menghela napas panjang. "Lo mungkin enggak cerita sama gue, tapi gue tahu kalau lo lagi dekat sama cowok dari lantai dua puluh."
Lagi-lagi, aku tidak menjawab. Tanganku terulur menyambar test pack itu dan menyimpannya ke dalam kabinet di atas wastafel. Aku menarik tangan Mikha untuk keluar dari kamar mandi.
"Gue baca di Google kalau hasilnya bisa aja salah."
"You should see Obgyn."
Aku merebahkan tubuh di sofa. Sambil menengadah, aku memutar ulang semua kebersamaan yang kulewati dengan Ralph. Menjawab pertanyaan Mikha, aku yakin Ralph tidak akan lari dari tanggungjawabnya.
Tapi, apa aku menginginkannya?
Aku tidak tahu perasaannya kepadaku. Aku tidak ingin kenyataan ini membuatnya terjebak. Hanya aku yang menyukainya, dan aku tidak ingin memanfaatkan perasaan itu untuk memaksanya tinggal bersamaku.
Terlebih ada Lily. Keberadaan perempuan itu menyadarkanku bahwa hidupku dan Ralph sangat berbeda. Aku bahkan sanksi dia rela melepaskan kebebasan yang dia miliki untuk hidup bersama denganku.
Baginya, aku hanya sementara. Kebersamaan kami hanya sementara. I'm just his client, dia tidak punya tanggung jawab apa-apa untukku.
"Sa, are you okay?"
Aku menatap Mikha dan sekuat tenaga berusaha untuk menampakkan wajah baik-baik saja.
Kenyataannya, aku tidak baik-baik saja.
Ralph
"Mikha, wait."
Aku hanya sekali bertemu Mikha, ketika dia datang ke apartemenku bersama Lisa. Namun, beberapa kali aku sering berpapasan dengannya meski hanya saling melempar senyum.
Untuk pertama kalinya aku bertatapan dengan Mikha dan terlibat obrolan.
"Sudah dua hari ini aku tidak melihat Lisa. Dia baik-baik saja?"
Mikha tidak langsung menjawab. Dia menatapku dengan mata menyipit dan penuh curiga. Aku menatapnya lurus-lurus, sambil berharap semoga Mikha mau berbaik hati kepadaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
(COMPLETE) Love & Another Heartache
RomanceRalph Williams leads dual life. Nobody knows his secret life as a professional male escort. Except one woman who he called Daisy. Lisa Ariana decided to spent three weeks in Melbourne after she called off her wedding. On the night who supposed to be...