Ch. 11 Heartache

38.2K 4.1K 114
                                    

Lisa

Menghabiskan waktu bersama mama mungkin jadi hal paling tidak menyenangkan yang harus kulewati. Terlebih setelah pernikahanku batal, rasanya waktu yang kulalui bersama mama berjalan jauh lama dibanding semestinya. Beruntung aku sudah memiliki rumah sendiri sehingga tidak harus bertemu mama setiap hari.

Sejak dulu, aku selalu salah di mata mama. Aku tidak pernah tampak cukup baik di matanya. Selalu saja ada yang kurang dari diriku, membuatku harus puas menjadi objek yang dibanding-bandingkan dengan orang lain. Hal itu juga yang membuatku selalu berusaha lebih keras dibanding teman-temanku demi sebuah pengakuan, tapi kenyataannya, lagi-lagi usahaku tidak pernah cukup.

Pengalaman itu cukup membuatku tumbuh menjadi sosok yang peragu dan sedikit banyak memengaruhi kepercayaan diriku. Satu-satunya pelampiasan yang kupunya hanya dengan menggambar. Aku menggambar apa saja, bahkan sekadar coretan abstrak yang cukup mewakili isi hatiku.

Ketika memutuskan untuk mengambil kuliah jurusan desain grafis, mama langsung menolak. Katanya, jurusan itu tidak memiliki masa depan. Beliau juga bilang kalau jurusan itu sama sekali tidak membanggakan. Namun aku tahu, hanya itu satu-satunya yang kuinginkan. Tanpa restu mama, untuk pertama kalinya aku mengambil keputusan sendiri.

Sampai sekarang, setelah aku settle dengan pekerjaanku, tetap saja karierku sama sekali tidak bisa dibanggakan oleh mama di hadapan teman arisannya. Tidak peduli hasil karyaku pernah meraih penghargaan atau masuk media massa, baginya seorang desainer interior bukanlah pekerjaan bonafide.

Itu hanya satu hal.

Mungkin, satu-satunya tindakanku yang disetujui mama hanyalah saat pacaran dengan Si Brengsek. Dia begitu jago bermain kata-kata, sehingga bisa langsung memikat hati mama meski awalnya mama sempat meragukan pilihanku. Ketika Si Brengsek memutuskan untuk resign dan membangun usahanya sendiri, Mama malah yang paling bersemangat dan menawarkan diri untuk membantu. Bahkan, Mama ikut memberikan bantuan modal awal untuk usahanya itu. Seolah-olah yang anaknya adalah Si Brengsek, bukan aku.

Tidak heran ketika pernikahanku batal, sama saja dengan melempar kotoran ke wajah Mama. Beliau meledak dan entah apa yang dikatakannya, saat itu hatiku sudah terlanjur sakit sehingga semua ucapannya ibarat angin lalu saja. Beliau bahkan menarikku menemui Si Brengsek dan memaksaku meminta maaf. Untung saja hal itu tidak sempat terjadi karena aku sudah terlanjur kabur ke Melbourne.

Bagi Mama, gagalnya hubunganku adalah kesalahanku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kalau beliau tahu alasan yang sesungguhnya, mungkin dia akan shock dan tidak terbayang ucapan menyakitkan apa yang akan diucapkannya di hadapanku.

Karena itulah, aku selalu meminimalisir waktu untuk bertemu Mama. Namun, jadwal medical check up bulanan yang harus beliau jalani membuatku terpaksa menghabiskan waktu seharian bersamanya. Aku selalu menolak mentah-mentah ajakan menginap di rumah dengan alasan macet ketika harus ke kantor besok.

"Dhika apa kabar?"

Aku menghela napas panjang ketika mendengar Mama menyebut nama Si Brengsek. Sejak malam itu, aku benar-benar tidak tahu keadaannya dan tidak ingin mencari tahu. Dia tetap memakai uangku, dan aku tidak mau memikirkan hal itu.

"Kamu masih belum minta maaf sama Dhika?"

Aku menatap Mama yang duduk di sampingku. Ruang tunggu rumah sakit lumayan ramai siang ini sehingga aku harus bisa mengontrol suaraku.

"Aku enggak salah apa-apa. Kenapa harus minta maaf?"

Mama menatapku dengan tatapan horor.

"Lagian, udah enam bulan lebih, Ma. Ngapain, sih, harus diungkit lagi?"

(COMPLETE) Love & Another HeartacheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang