Ch.19 Holding Hand

44K 3.9K 193
                                    

PS: Enggak apa-apalah ya enggak sesuai janji update tiap Kamis, he-he. I love this part. It's very sweet of them.

Lisa

"Lisa, hai."

Aku mengangkat wajah dari layar ponsel dan mendapati Wanda melambai di depanku. Aku pun membalas sapaannya dengan senyuman.

"Gila, ya, ngantrenya panjang banget." Wanda bergerak gelisah di tempatnya. Sesekali dia mencondongkan kepala, berusaha mencari cara untuk mempercepat waktu tunggunya.

"Lagi ada promo, jadi enggak heran ramai gini." Aku menjawab pelan, dan disambut dengan wajah cemberut Wanda.

"Gue bisa disetrap si Bapak kalau telat lagi," gerutunya.

Perempuan yang berdiri di samping Wanda terkikik mendengar gerutuannya, begitu juga dengan dua perempuan lain yang berdiri di depannya. Aku tidak mengenal mereka, tapi aku menebak sepertinya mereka bekerja di kantor yang sama dengan Wanda.

"Kemarin lo disetrap enggak?" tanya perempuan berkacamata yang berdiri tepat di depan Wanda.

Aku tidak bermaksud menguping, tapi suara mereka terdengar hingga ke tempatku sehingga mau tidak mau aku mendengar pembicaraan mereka. Lagipula, sedikit banyak aku bisa menebak siapa yang mereka bicarakan.

Ralph.

"Nope. He was in a good mood yesterday. Abis dapet jatah kali."

Aku menelan ludah. Tanpa bisa dicegah, pipiku memerah ketika mengingat tindakanku kemarin di ruangan Ralph.

"Lagian gue heran. Lo bisa tahan ya kerja sama dia."

"He's much better than Marshall. Cuma orangnya demanding, maunya serba cepat, dan kalau lagi marah ya ngeri. Untung ganteng." Wanda terkikik.

"Itu dia yang gue maksud," sahut si kacamata. "Dia diam aja udah intimidating gitu. Apalagi kalau marah. Gue pernah dengar dia ngomel di telepon, and it was sexy as hell. I imagine myself being kinky sencetary for him."

Wanda dan teman-temannya tertawa. Di tempatku, aku berusaha keras untuk menampakkan wajah datar dan tidak mengikuti pembicaraan mereka.

Namun, aku tidak menyangka jika sosok Ralph yang selalu manis di depanku, bisa berubah menyeramkan seperti yang dideskripsikan karyawannya.

"Lo harus lihat dia kalau udah buka jasnya. Itu body enak banget buat gelendotan."

Kali ini aku setuju dengan Wanda. Seandainya saja empat orang perempuan di depanku ini tahu apa yang tersembunyi di balik kemeja dan jas itu, aku yakin mereka akan mengundurkan diri keesokan harinya karena tidak tahan bekerja di bawah tekanan seksual yang selalu muncul setiap kali berdekatan dengan Ralph.

"And his butt is so damn delicious. Apalagi kalau lagi pakai kacamata. Baru kali ini gue ngelihat orang pakai kacamata bisa bikin turn on." Teman Wanda yang berambut pendek menambahkan.

Aku mengusap leher, sambil menahan diri untuk tidak menyambar pembicaraan perempuan di depanku ini dan membanggakan keistimewaan yang kumiliki karena sudah melihat bokong seksi milik Ralph.

"Every time he scolded me, I want him to slap my butt."

Mataku membelalak mendengar celetukan itu. Knowing Ralph, I can imagine him slap someone's butt before he puts his penis into her vagina.

Beruntung sekarang tiba giliran Wanda memesan kopinya, sehingga aku tidak harus mendengar pembicaraan bernada seksual itu lagi, sebelum aku kehilangan kendali dan ikut menimpali.

(COMPLETE) Love & Another HeartacheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang