The beginning of 2019.
Laras's povTiga tahun berlalu dari hiruk pikuk dan lika-liku kisah cinta sahabatku, Nina bersama Sandro. Aku terlepas dari kebawelannya.
Lega sekaligus iri karena setelahnya aku harus ditampar oleh kenyataan bahwa Mona diam-diam memiliki pasangan yang berjalan setengah tahun lamanya.
It's okey kalau dia mau meneruskan berpacaran dengan pasangannya yang memiliki keturunan darah aristrokat itu. Tetapi berbeda lagi kalau mereka menghentikan kata berpacaran dan menggantinya dengan menikah.
Ya, awalnya hanya tukar cincin dan berbagai ritual-ritual pra pernikahan yang belum pernah kusentuh itu, namun lama-lama juga jatuhnya tetap akad nikah.Aku iri tentusaja. Jadi yang tersisa di sini hanya aku dan juga Erik. Aku maklum dengan Erik yang memiliki penyimpangan seksualitas, tetapi aku normal 'kan?
Lalu pertanyaannya adalah, kapan aku menikah?Jawabannya kapan-kapan.
"Udah cek lapangan 'kan hari ini?"
"Ehh? U-udah, Mrs."
Aku berusaha membagi konsentrasiku antara mengetik cepat dengan berbicara kepada Mrs. Devi--atasanku yang berhasil menggantikan posisi Mrs. Lala.
Satu yang paling kubenci dari seorang atasan berkelamin perempuan, mereka semua lebih mengutamakan mengomel dari pada kerja cepat."Konsen, Laras! Saya dapat laporan tanah yang kamu garap masih ada sengketa."
Seketika kesepuluh jemariku berhenti dari kegiatannya. Aku terkejut. "Kok bisa?!"
"Saya nggak mau tahu kamu urus itu!"
Skak mat. Kepergian Mrs. Devi setelah mengatakan perintah yang tidak bisa lagi ku-nego itu berhasil membuat kepalaku berdenyut minta di belai sayang oleh seseorang.
Aku menyandar lemas di dalam kubikel sempit yang menjadi tempatku bekerja selama hampir enam tahun ini."Sakit hati gue lama-lama kerja di sini. Bukannya dapet promosi malahan kena omel melulu," gerutuku.
"Yuhuuu~ pos surat datang!" seru seseorang yang sudah sangat kuhapal suaranya. Dia adalah perusak suasana baik dan buruk, Mona.
"Halo, cinta," sapanya manja sambil menyandar pada dinding kubikelku.
"Hm, siang."
"Idihh, jutek banget, buk! Pantes nggak laku-laku."
"Mulut sopan sedikit bisa nggak kalau ngomong?" tanyaku ketus. Sudah tahu aku sedang mumet, Mona justru membuatku naik tensi.
"Bisa ... Nih!" Mona mengukurkan tangannya masuk ke kubikelku, ia memberikan satu amplop besar berwarna emas yang membuatku parno.
"A-apaan nih?"
"Undangan nikah gue dong, buk!! Yeyyy! Akhirnya gue merit minggu depan!"
"What?!! Minggu depan?!" teriakku lantang.
Oh, aku tidak peduli lagi apa teriakanku mengganggu para staff kantor lainnya atau tidak. Yang aku pedulikan adalah kekhawatiranku yang akan ditinggal nikah oleh sahabatku sendiri.
Kenapa Tuhan nggak kasih gue jodoh lebih dulu sih? Gue juga pengen kali skidipapap skawadikap...Kuambil amplop emas itu dengan sedikit ragu-ragu. Aku takut sekali. Lagian Mona menikah minggu depan, bukankah itu terlalu cepat?
Sebelum kubuka amplop itu aku menatap Mona curiga, Mona hanya memandangku bahagia tanpa peka kenapa aku menatapnya curiga seperti ini.
Oh iya, aku lupa kalau tingkat kepekaan Mona itu sangat rendah. Kasihan juga calon suaminya, dia pasti salah pilih."Lo bunting duluan apa gimana, buk?"
Wajah Mona langsung melongo dan merasa tak percaya aku bertanya seperti itu. "Mulut lo kebanyakan disosor orang jadi ngomong nggak pernah pake persneling, ya?" tanya dia kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
• Damn, You !! •
Romance(17/21+) [COMPLETE] dipublish 10 Januari 2019 - tamat 16 Maret 2019 POV 1 [ Akssa & Laras ] Apa yang tidak dimilikinya? Uang, mobil, apartemen, perusahaan, emas batangan? Hampir semuanya dia miliki kecuali satu, wanita. Apa yang membuatku jatuh cin...