17.

15.5K 1.1K 65
                                    

"Aku anak terakhir dari tiga bersaudara," ucapku memulai bercerita.

Posisi kami sekarang berubah. Akssa memutuskan untuk membawaku langsung ke tempat tidur kami untuk bercerita. Kami berdua tiduran sambil menatap kosong ke arah dinding kaca yang menampilkan luaran balkon. Malam yang penuh dengan kerlipan bintang tampak sama indahnya ketika dilihat dari dalam penthouse.

Akssa hanya diam saja mendengarkanku. Dia tidak memotongku, dia hanya mendengarkan ceritaku dengan teliti sambil sebelah tangannya ia relakan untuk menjadi bantal kepalaku.

"Lulus SMA aku kabur dari rumah, tapi pamit sama bunda ayah. Mmm, kalau enggak salah aku keluar dari rumah bawa tiga koper dan dua ransel kecil," lanjutku mengingat pada aksi kaburku yang tergolong beda dari aksi kabur lainnya.

"Pamit?" tanya Akssa heran.

"Hm. Aku kirim pesan singkat ke mereka kalau aku merantau sampai aku menikah."

Akssa terkekeh pelan mendengar ceritaku. Mungkin dia tidak menyangka kalau aku ini tipe wanita yang beda dari yang lain. Main kabur-kaburan dari rumah tetapi pamit orang tua.

"Tinggal dimana?"

"Di kontrakan kecil! Bunda transfer uang suruh aku beli rumah kecil atau apartemen yang bisa kutinggali. Tapi aku memilih mengontrak rumah sampai aku lulus kuliah terus beli apartemen itu setelah lulus. Tumbuh besar di sana dan mereka sama sekali tidak tahu alamat apartemen itu."

"Kenapa?"

"Mereka tahu sudah waktunya aku mandiri " bisikku sedikit tersentuh oleh sikap kedua orangtuaku sendiri yang dulu menerima keputusanku untuk belajar menghidupi diriku sendiri. "Aku kerja part time di kedai ayam goreng, mendaftar kuliah sampai D3 dari hasil upah kerja. Terus, aku keluar dari kedai ayam waktu itu buat masuk Anderson. And guess what?" pancingku menyuruh Akssa menebaknya.

"Diterima," tebak Akssa membuatku mengangguk pelan.

"Diterima sebagai staff perbantukan?" aku terkekeh mengingat waktu itu pekerjaanku di Anderson sangatlah tidak wajar. Akssa menggeser sedikit badannya agar bisa menatapku, dan ekspresinya tampak sedikit tak menyangka setelah mendengar ceritaku. "Subuh berangkat kerja sampai pulang malam, dan gajiku waktu itu hanya cukup untuk bayar uang semester strataku," lanjutku.

"You kidding me," bisik Akssa.

Aku menggeleng pelan karena memang aku tidak bercanda. Itu memang nyata apa adanya. "Mmm, satu tahun aku mulai dapet promosi untuk bekerja di balik kubikel. Aku mulai mengenal Nina, Mona dan Erik setelah dua bulan kerja sebagai staff biasa di Anderson. Dan dari situ gajiku mulai naik tiga kali lipat karena aku memutuskan untuk mengambil lapangan. You know that, nggak semua orang menerima tugas lapangan mereka sebaik aku," kataku bangga lalu mengedipkan sebelah mataku pada Akssa.

"Kuliahmu?" tanya dia penasaran.

"Aku ambil kuliah malam sekaligus akselerasi sampai S2. Dan selama itu, aku hilang kontak sama bunda dan ayah," ucapku.

"Why?"

"Nggak tahu kenapa, mereka terlalu percaya kalau aku ini bisa," jawabku sedih. Akssa mulai membelai lembut keningku dengan ibu jarinya.

"Homesick."

"Of course!"

"How about your siblings."

"Dua kakakku menikah tiga tahun lalu. Angger bersama Kak Kania dan Goris bersama Kak Ines," jelasku.

"Angger atau Kania?" tanya Akssa bingung menebak yang mana saudaraku membuatku terkekeh geli.

• Damn, You !! •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang