epilog

29K 1.2K 167
                                    

Our love is here, and here to stay - lyric of Little do You Know

•••

Bandung, 28 Mei 2020

Tubuhku masih terasa ngilu di setiap tulang dan sendinya. Kepalaku masih pusing sampai rasanya aku butuh penanganan utama. Berbulan-bulan lamanya aku hampir ketakutan untuk hanya sekadar tidur dan bekerja, tubuhku kehilangan berat sampai delapan kilogram dan separuh nyawaku rasanya melayang. Aku terbaring di tempat tidur kingsize kamarku yang sudah rapi dibandingkan tahun lalu. Setelah pulang dari Bali tahun lalu, aku dan Laras memutuskan untuk tinggal di rumah Ayah sampai anak kami lahir di dunia. Setelah itu, kami bertiga akan pindah ke rumah baru yang selama ini sudah kubangun di area perumahan elit.

Tubuhku telentang tak berdaya. Menatap lurus ke langit-langit kamar dengan pandangan nanar. Tenggorokanku kering. Dimana Laras?

"Honey?" panggilku.

Panggilan pertama sama sekali tak diindahkan oleh wanita cantik yang selama ini tampak baik saja. Dia tetap sehat walaupun sedang mengandung buah hati kami. Laras sama sekali tidak mengalami kejanggalan dalam masa kehamilannya. Hanya beberapa kali morning sickness di bulan awal. Setelah itu, aku yang mengalaminya. Dan itu sangat mengerikan. Aku seperti merasakan Tuhan sedang menghukumku karena membenci anak-anak. Setiap pagi perutku selalu bermasalah dan mual. Tidak ada hari tanpa aku muntah. Bahkan mencium alkohol—cairan yang selama ini begitu kurindukan—aku tidak bisa. Perutku rasanya seperti terblender jika mencium bau alkohol sedikit saja. Lalu kepiting? Hell, aku seperti ingin menangis jika melihat kepiting segar digoreng dengan minyak panas. Kepiting itu tersiksa.

Intinya, kehidupanku selama sembilan bulan terakhir ini sangatlah mengerikan.

"Laras?" panggilku sekali lagi.

Wanita cantik yang sedang sibuk menata kamar bayi untuk calon anak kami itu keluar dari tempatnya. Perutnya sudah membuncit besar sekali. Aku sampai heran, bahkan perut Laras lebih besar dibandingkan dengan perut Mona. Sayangnya, Laras tidak mau mengetahui hasil USG soal kelamin dan rincian detailnya. Setiap kami USG, yang dia perlu ketahui adalah sehat atau tidaknya bayi kami. Dia juga menolak untuk melihat ke monitor saat dokter merekam janinnya. Laras juga menyuruhku untuk tidak boleh melihat apapun hasil USG kecuali informasi dari dokter yang sudah diminta oleh Laras.

"Hm? Kenapa, mual lagi?"

Laras berjalan pelan sambil membelai perutnya. Demi Tuhan, aku masih sedikit membenci anak-anak. Aku cemburu sekarang.

"Haus. Aku dehidrasi," kataku.

Laras mengambil segelas air putih di meja nakas samping tempat tidur. "Bangun, nanti keselek!"

Aku menurutinya. "Kenapa belum lahir-lahir? Aku hampir mati gara-gara muntah setiap hari!" kesalku.

"Belum sembilan bulan, 'kan? Eh, udah, ya? Tapi aku belum ngerasain apa-apa. Ngomongin lahiran, aku jadi—"

"No! Jangan minta aneh-aneh lagi, please," mohonku ketakutan setelah meminum segelas air putih darinya.

For God sake, Laras tidak mau tahu apakah aku ini sedang sakaratul maut atau pingsan sekalipun, dia akan tetap menyuruhku memenuhi keinginannya. Lotis, rujak cingur, mi tek-tek di subuh hari, sampai milk shake rasa sawi. Hell, aku dulu bahkan harus memohon pada penjual milk shake untuk membuat yang rasa sawi! Belum lagi minta berenang dini hari. Kalau diingat-ingat, semua permintaan ibu hamil sangatlah tidak wajar. Laras juga sekarang mulai menyukai idol Korea yang bernyanyi sambil berjoget. Membeli pernak-pernik K-pop sampai menghabiskan belasan juta rupiah. Memohon agar menonton konser dengan kondisi perutnya yang sudah ingin meletus. Sialan, aku benar-benar stress menghadapi masa kehamilan Laras. Dan selama dia meminta ini dan itu, kondisi tubuhku hampir pingsan atau bahkan kritis. Otot perutku hilang karna beratku turun drastis. Aku benar-benar tersiksa.

• Damn, You !! •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang