2.

21.2K 1.4K 88
                                    

Aku sedang ribut membagi perhatianku antara ponsel dengan Kanya. Anak perempuan Nina itu memang paling dekat denganku, umurnya yang masih tiga tahun membuatnya tampak imut sekali.

"Aunty, pon-pon (phone)," gumamnya sambil menunjuk-nunjuk ponsel yang ada digenggamanku.

"Iya, ini ponsel aunty. Where's your brother, hm ... hm?" tanyaku gemas sambil menciumi pipinya yang gembul itu membuatnya tertawa nyaring sekali.

Kutaruh ponselku di atas meja tanpa me-lock-nya terlebih dahulu Lalu menggendong Kanya.

"Buk, peniti gue di meja tadi mana?"

Aku menoleh ke belakang dan menemukan Mona sedang mencoba kebaya pernikahannya yang masih penuh sekali dengan peniti. Kupikir Mona terlalu diet ekstrim seminggu ini sampai kebaya pernikahannya saja kebesaran seperti itu dari ukuran awal badannya.

"Tuh!" tunjukku dengan dagu ke arah meja kecil yang menampung ponselku dan juga barang lainnya.

"Aunty up!!"

"Up?" tanyaku lalu mengangkat Kanya tinggi-tinggi. Sekali lagi dia tertawa sangat keras sekali sampai telingaku penging rasanya.

"What the fuck?!"

"Mona!" teriak Nina yang barusaja mau masuk ke dalam kamar Mona, dia mendelik marah karena Mona berteriak kasar sementara di sini juga ada Kanya yang sedikit banyak sudah mengerti Bahasa Inggris.

Aku hanya menatap Mona aneh dan masih menggendong Kanya, penasaran apa yang membuatnya bisa berteriak kasar seperti itu tadi. Namun jantungku terasa mau lepas saat itu juga begitu aku sadar bahwa Mona menggenggam ponselku, ia melongo seperti terkejut atas apa yang telah ia lihat.
Buru-buru aku menurunkan Kanya di atas sofa dan merebut paksa ponselku dari genggaman Mona. Mampus!
Sekarang aku harus bagaimana? Bodohnya aku yang teledor karena tidak me-lock ponselku sebelum kutaruh di atas meja. Jantungku berdegub kencang dan menatap Mona canggung. Sementara Nina mengambil alih Kanya dan mendekati kami berdua, dia menatap heran ke arahku dan Mona.

"Apa sih?" tanya Nina berusaha mengambil ponsel dari genggamanku namun kucegah. "Siniin!"

"Nggak."

"Larasss!!!" pekik Mona mengagetkan Nina. Disaat seperti ini, yang aku rasakan hanyalah ingin menangis. Aku takut. Sangat takut sekali jika kedua sahabatku ini mengetahui rahasiaku yang selama tiga tahun ini kututupi.

"Kalem bisa nggak sih, Mon?! Ada anak gue ini!"

Tak memperdulikan omongan Nina, Mona justru mendekat ke arahku dan menangkup kedua pipiku, menyuruhku untuk menatapnya lekat-kekat. Aku yakin kedua mataku saat ini sudah berair siap menangis.

"Lo pacaran sama Akssa?" tanya dia serius.

"WHAT?!!"

"Kalem bisa nggak?" balas Mona pada Nina yang tiba-tiba berteriak kaget. Nina juga mulai mendekat ke arahku sambil menggendong Kanya yang asyik memainkan rambut sebahunya.

Aku masih diam saja merasa disidang seperti ini. Kedua tanganku menggenggam ponselku tadi erat-erat. Benda itu adalah bukti terkuat soal penjelasan seperti apakah hubungan aku dan Akssa.
Bodoh kamu Laras. Bodoh. Sangat bodoh. Kalau sampai Akssa tahu aku sudah ceroboh membuat Nina dan Mona mengetahui rahasia ini, dia pasti sangat marah padaku.
Belum lagi Nina, mungkin dia masih belum merelakan kalau Akssa berurusan dengan wanita lain apalagi sampai berurusan denganku, sahabatnya sendiri.

"Selamat, Cinta!!" seru Nina tiba-tiba membuatku melongo kaget. Kok ... gini sih?

Mona menggeleng-gelengkan kepalanya tampak frustrasi. "Kok bisa sampai sama Akssa sih, Buk? Kayak nggak ada cowok lain aja."

• Damn, You !! •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang