4.

18.5K 1.4K 89
                                    

Nngghhh... Gila. Apa sih ini isinya?! Nngghh...

"Hahh~ Dia yang pindahan kenapa gue yang repot, coba?" rutukku kesal sendiri. Sambil menyeka keringat dan membenarkan ikatan rambutku agar semakin tinggi, aku kembali lagi menggeser satu kardus berisi—entah batu entah jutaan kerikil yang dibawa Akssa dari apartemennya ini.

Aku yang sudah mengenakan kaos oblong kebesaran dengan celana kolor pendek rela repot-repot menyusun barang Akssa sementara yang pindahan justru enak-enakan mandi dan berendam. Lelaki macam lekong benar dia itu.

"Kalau sampe ini kardus nggak kegeser juga, gue tendang lama-lama," gumamku kesal.

"Apa yang ditendang?"

"Eh, kardus! Kampret, kardus!" teriakku gagap sambil berbalik menyandar pada si kardus sialan. Sebelah tanganku memegangi dada bagian kiriku dan sebelah tanganku lagi memegangi belakang leher. Sialan memang Akssa ini sudah mirip sekali dengan cenayang. Malu 'kan aku sampai keluar latahnya di depan dia.

"Kalau muncul bilang-bilang dong!"

Akssa tak menjawabku, dia memilih duduk di sofa sambil menggosok rambutnya yang basah menggunakan handuk kecil. Ah, aku kecewa dengan penampilannya sekarang yang tidak shirtless. Selama tiga tahun lebih ini baru satu kali Akssa menampilkan adegan shirtlessnya di depanku, yaitu waktu kemarin sebelum aku ke dokter gigi. Saat itu juga aku tidak begitu melihatnya karena panik. Sekarang aku hanya bisa menyesalinya dan berharap Akssa akan memberikanku hiburan dengan adegan shirtless itu. Aku 'kan juga penasaran seperti apa perutnya. Apa mirip seperti yang diceritakan Nina soal suaminya yang memiliki perut kotak-kotak itu? Atau mirip Erik yang hanya rata saja tanpa otot?

Rrgghh, memikirkan otot perut membuatku jadi haus.
Masa bodoh dengan kardus isi batu tadi, aku beranjak meninggalkannya ke dapur mencari minuman dingin. Karena Akssa sudah resmi pindah apartemen berdua denganku, aku berusaha keras untuk memenuhi isi lemari es dan meminimalisir untuk tidak membeli alkohol. Padahal aku paling gigit jari kalau melihat deretan alkohol yang terpajang rapi di meja bartender. Ingin sekali aku membawa pulang satu dan kembali mengisi rak stok alkoholku hingga penuh. Tapi aku harus menekan keinginan itu sedemikian rupa kalau tidak mau terjebak pada tugas mengurus bayi besar yang mabuk.

Kubuka lemari es dua pintu yang menjadi benda elektronik pertama yang kubeli menggunakan gaji pertamaku, di dalam sana isinya banyak sekali minuman dingin bersoda dan juga susu. Akssa suka sekali susu putih, sedangkan aku suka sekali minuman soda. Dua minuman yang kalau disatukan bisa menjadi soda gembira, tetapi dua manusia itu sendiri kalau disatukan menjadi kaum neraka. Aku mendengus kecil dan mengambil satu kaleng minuman soda andalanku. Membukanya pelan sampai bunyi ppstt keluar dari dalam kalengnya. Aku berbalik memunggungi lemari es dan menutup pintunya menggunakan kaki kiriku. Dari balik bibir minuman kalengku, aku melihat Akssa sedang berdiri bersidekap menyandar meja bar dapur. What?

"Apa?" tanyaku

"Apa yang kamu tahu soal Nara?"

Hampir saja aku tersedak saat meminum soda. Pelan-pelan kutaruh kaleng soda yang ada di genggamanku dan menatap Akssa setengah kikuk.

"Mona?" tanya Akssa sambil mendekatiku.

Aku diam saja tak mau berkomentar. Kalau aku menjawab juga aku takut Mona terkena getahnya. Lebih baik golput saja 'kan daripada terkena omel salah satu.

"Internet?" tanya dia lagi, sekarang Akssa sudah berdiri tepat di hadapanku.

Aku berpikir sebentar, internet? Adakah soal Nara yang tertera di internet?
Ya ampun, kenapa juga aku bisa bodoh sekali seperti ini. Akssa itu 'kan CEO hebat sekelas Sandro dari perusahaan Maurice Group yang digadang-gandang memiliki daya saing kuat dengan perusahaan luar, kok aku sampai tidak punya pikiran untuk googling nama Akssa di Wikipedia, sih.

• Damn, You !! •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang