10

13.4K 992 114
                                    

Napasku terengah setelah pagutan kami berdua terlepas sebelum kelakuan kami yang tidak sopan ini dilihat oleh pemilik rumah. Wajah Akssa masih berada sangat dekat sekali dengan wajahku. Napasnya yang menderu terasa hangat berhembus di pipiku.

"Kenapa kamu cium aku?" tanyaku lirih.

Akssa memundurkan tubuhnya satu langkah ke belakang. Dia menatapku intens sekali.

"I miss kissing time," katanya.

Baru aku mau membalas ucapan Akssa, Nina masuk ke dapur sambil menggendong Kanya yang mengoceh ini itu. Nina tampak kaget di belakang tubuh Akssa, dia seperti terpaku dan ekspresi wajahnya tampak bersalah karena sudah datang diwaktu yang tidak tepat.

"Sorry. Ganggu, ya? Hehehe," katanya lirih membuat Akssa berbalik.

"Enggak," jawabnya lalu pergi keluar dari dapur seperti tidak terjadi apa-apa.

Aku menghela napas lega luar biasa sambil berjongkok menenangkan otak dan detak jantungku. Nina langsung mendekatiku dan membelai kepalaku sayang.

"Kenapa, buk? Lo habis diapain sama Akssa?"

"Aunty, aunty.."

"Aduh, sebentar ya, sayang. Kanya ke kamar kakak dulu, ya?"

"Okey."

Aku tidak bisa melihat interaksi antara Nina dan Kanya. Aku masih menunduk dalam sambil berjongkok. Banyak sekali hal yang kupikirkan apalagi masalah baru soal Akssa yang tidak terlalu suka anak-anak. Aku seorang wanita, sudah pasti kelak aku akan menjadi ibu. Tetapi kalau aku harus berharap pada satu manusia yang justru menganggap anak kecil itu menyebalkan, aku harus apa?

Aku mendongak menatap Nina yang juga menatapku khawatir. "Cin, si Akssa benci anak-anak," gumamku.

"Heh? Kok bisa?"

"Gara-gara liat anak-anak lo yang tadi pada tantrum."

"Haiss, dasar lelaki mau enaknya doang giliran anaknya aja nggak dianggap!" omel Nina sambil memonyong-monyongkan bibirnya. "Eh, tapi ... emang lo lagi bunting anaknya si kutukupret Akssa, buk?!"

Kedua bola mataku melotot dan langsung kubekap mulut Nina yang kalau ngomong asal srempet sana sini itu. Maaf ya, segila-gilanya aku, aku masih virgin dan belum pernah melakukan hal lain selain kissing.

"Edan lo, buk! Mulut dipagerin dong. Boro-boro gituan, mentok juga kissing kok kita."

"Terus tadi lo kissing gitu, di sini?"

Tanpa berpikiran panjang aku hanya mengangguk tanpa rasa bersalahku. Langsung saja Nina memukul kepalaku tanpa belas kasih membuatku mengaduh kesakitan. Ini kepala lho, ya. Mahkota manusia. Seenaknya si Nina memukul kepala wanita paling cantik di dunia ini.

"Gila lo! Ini rumah gue lo kira hotel?!"

"Ya ... maaf, buk. 'Kan si Akssa duluan yang nyosor."

"Lo habis lepas behel kelakuan lo main kena sosor, ya. Heran gue. Dulu aja masih ada behel mana mau si Leon nyosor lo."

"Kok-kok lo jadi ungkit-ungkit Leon sih?"

"Hehehe, keinget aja, buk. Kapan itu gue ketemu dia di supermarket, dia minta nomor lo, buk."

"Terus??"

Aku beranjak dari posisiku berjongkok sekaligus mengangkat Nina, mengajaknya untuk ikut berdiri dan mengambil duduk di kursi meja makan. Ini gawat. Sangat gawat. Tahukah kalian kalau Leon itu bukan hanya sekadar mantan kekasihku? Dia adalah mantan kekasih yang hampir saja melamarku. Tetapi hubungan kami harus kandas karena ibunda Leon yang berniatan menjodohkan Leon dengan wanita non-karir. Bukan sepertiku yang masih gencar memikirkan pekerjaan dan sama sekali tidak bisa memasak banyak makanan. Mungkin bisa ya satu sampai tiga masakan, tetapi masakan yang biasa-biasa seperti sop ayam dan cah kangkung. But, bukankah seorang wanita yang kelak menikah pasti akan sedikit demi sedikit belajar untuk memasak dan mengurus rumah tangganya? Apalagi dia sudah punya anak seperti Nina, jangankan bekerja, mereka pasti berpikir dua kali lipat untuk mengalah pada karirnya dan lebih fokus pada rumah tangganya, bukan?
Tetapi ibunda Leon memiliki pikiran berbeda, membuatku dan Leon harus mengucapkan perpisahan dengan cara yang baik-baik.

• Damn, You !! •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang