7. Pelajaran Pertama

9.2K 1K 578
                                    

Melumerkan sikap dingin Neo bukanlah pekerjaan mudah. Esok harinya di kampus, Neo masih enggan bicara banyak pada Liberty. Saat Liberty menyapa, Neo hanya membalas 'hai' lalu kembali fokus pada buku arsitektur tebal yang dibacanya.

Tapi Liberty tak kehabisan akal. Sejak semalam dia sudah punya rencana. Dia meminta alamat Neo dari staf ayahnya yang semalam bertugas sebagai penerima tamu. Mereka menyimpan alamat dan nomor kontak semua tamu yang hadir di acara semalam.

Maka di sinilah Liberty. Di depan gedung apartemen yang ditinggali Neo. Dengan lift, dia langsung menuju lantai tempat kamar Neo berada.

Dia menekan bel sekali. Menunggu selama dua menit, tapi pintu belum terbuka. Dia menekan bel sekali lagi. Setengah menit kemudian akhirnya pintu terbuka, lalu menyembul wajah Neo dengan mata terbelalak.

"Lib?" ucapnya.

"Hai, Neo," sahut Liberty lalu tersenyum lebar.

"Kamu ngikutin aku?" tuduh Neo, dia memicingkan mata menatap curiga Liberty.

"Nggak. Aku tahu alamatmu ini dari acara kemarin," sanggah Liberty.

"Oh, jadi semua informasi tentang aku sudah diketahui staf ayahmu ya?" sindir Neo.

"Aku ke sini mau menagih janjimu," kata Liberty, mengabaikan sindiran Neo.

"Janji?"

"Jangan pura-pura lupa. Kamu masih utang mengajariku bahasa Spanyol dua kali lagi."

"Oh, itu. Aku memang lupa. Kenapa kamu nggak bilang saja tadi di kampus?"

"Are you kidding me? Kamu sengaja menghindariku di kampus. Entah apa yang membuatmu benci padaku."

"Aku nggak benci kamu," sanggah Neo cepat.

Liberty menatap Neo, keduanya saling tatap agak lama.

"Lalu, kenapa sikapmu padaku sekarang berubah?" tanya Liberty.

"Aku nggak suka terlalu dekat dengan orang yang punya kuasa. Aku lebih suka hidup normal dan biasa," jawab Neo.

"Siapa yang punya kuasa? Aku nggak punya kuasa apa-apa. Maksudmu ayahku? Kamu menjauhiku cuma gara-gara aku anak Dubes? Bukan salahku punya ayah Dubes," sahut Liberty.

Neo tak langsung menyahut. Dia hanya menatap Liberty lalu menghela napas.

"Baiklah. Aku akan menyelesaikan kewajibanku. Kamu mau belajar di mana?" kata Neo akhirnya.

"Aku sudah telanjur di sini. Jadi, di apartemenmu saja," sahut Liberty.

"Oh, nggak bisa. Nggak ada seorang perempuan pun yang boleh masuk ruang apartemenku," tolak Neo.

"Kenapa? Kamu takut?"

"Takut?" Neo menertawakan pertanyaan Liberty itu.

"Kamu takut cuma berduaan dengan seorang gadis muda di ruang tertutup?" Liberty memperjelas pertanyaannya.

"Aku nggak takut. Hanya saja, itu nggak pantas."

"Kenapa? Kita cuma belajar. Aku perempuan yang punya harga diri. Aku nggak akan berbuat macam-macam. Jangan-jangan kamu yang takut nggak bisa menahan diri dariku," kata Liberty.

"Hei, aku nggak mungkin begitu. Aku juga punya harga diri. Aku nggak berminat berbuat macam-macam padamu. Kamu ini, pikiranmu sama dengan cowok jodohmu semalam itu," sanggah Neo.

"Jangan sembarangan. Jodohku yang mana?"

"Aku nggak ingat namanya. Cuma ingat dia bilang dia anak Dubes."

We Could Be In Love (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang