Liberty terjaga pukul setengah enam pagi. Dia terkejut melihat Neo sudah duduk di kursi menghadap meja pantry, menikmati secangkir minuman yang mengepulkan asap. Tanda minuman itu baru diseduh. Wangi coklat menguar memenuhi ruangan. Kantung infus tergeletak di nakas. Neo sudah melepasnya sendiri. Entah bagaimana caranya.
Liberty bangkit berdiri, melangkah mendekati Neo.
"Kenapa kamu duduk di sini? Kamu belum benar-benar sehat, kan?"
"Aku mau minum. Aku haus sekali dan lapar."
"Kamu bisa membangunkan aku. Aku bisa membuatkanmu minuman hangat."
"Kamu? No way! Setelah insiden kamu memecahkan piring dan gelasku lalu melukai tanganmu, aku nggak akan pernah mengizinkanmu menyentuh peralatan dapurku lagi."
"Itu cuma kecelakaan. Aku nggak sengaja memecahkan piring dan gelasmu."
"Siapa yang memasang infus di tanganku?" tanya Neo.
"dr. Julio, dia dokter keluarga yang tinggal di Barcelona, selalu siap aku hubungi jika aku butuhkan. Kamu beruntung dia nggak sedang sibuk. Dia langsung memeriksa keadaanmu dan memasukkan cairan infus itu ke tubuhmu. Dan kamu melepas infusnya sendiri? Itu kan bahaya. Memangnya kamu tahu cara melepas jarum infus?" jawab Liberty.
"Aku baik-baik saja, nggak butuh infus."
"Semalam kamu nggak baik-baik saja. Kamu mendadak pingsan begitu membuka pintu. langsung jatuh di pundakku. Dan aku harus bersusah payah memapahmu ke tempat tidur."
Mata Neo membesar mendengar cerita Liberty itu. Dia tidak ingat telah pingsan. Seingatnya keadaannya baik-baik saja semalam, dia hanya merasa sedikit pusing.
"Aku nggak ingat sudah pingsan."
Berarti kamu juga nggak ingat sudah memegangi tanganku selama kamu tidur? ucap Liberty dalam hati. Dia ingat semalam Neo memegangi tangannya. Dia mengira Neo sudah bangun, tapi ternyata Neo masih terlelap walau memegangi tangannya. Entah apa yang dimimpikan Neo semalam.
"Dokter bilang, kamu kecapean. Kurang tidur, kurang makan. Tekanan darahmu turun drastis. Itu yang bikin kamu pingsan," kata Liberty lagi.
Neo menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Dia masih merasa letih dan lemah.
"Aku nggak sadar sudah selemah itu. Tapi, baiklah, terima kasih sudah memanggil dokter." Akhirnya kata-kata itu terucap dari bibir Neo.
Liberty tersenyum senang. "Kamu sedang beruntung. Kebetulan aku datang. Kamu kebanyakan kerja, padahal kuliah sedang sibuk-sibuknya," katanya.
"Empat bulan lagi libur panjang. Aku harus segera beli tiket pesawat pp Jakarta-Barcelona. Aku harus cepat mengumpulkan uang," sahut Neo.
"Aku tahu. Tapi jangan maksa. Nggak ada gunanya rencanamu pulang kalau kamu sakit," kata Liberty.
"Libby, aku mohon berhenti menolongku. Aku nggak mau berutang budi terlalu banyak padamu."
Liberty mengernyit. "Kamu nggak berutang apa-apa. Aku temanmu, wajar kalau aku mencemaskan kesehatanmu."
"Aku baik-baik saja, kamu nggak perlu mencemaskan aku," bantah Neo.
"Kamu nggak baik-baik saja. Kamu harus berhenti kerja terlalu keras. Cukup bermain biola tiga kali seminggu di restoran Enrique. Jangan ditambah pekerjaan lain. Dan sesibuk apa pun kamu, jangan lupa makan teratur. Itu penting, Neo." Liberty menasihati panjang lebar.
"Gosh, kamu cerewet sekali," sindir Neo.
"Memang harus ada yang cerewet padamu," sergah Liberty.
KAMU SEDANG MEMBACA
We Could Be In Love (SUDAH TERBIT)
Novela JuvenilSekuel "Listen To My Heartbeat" Sinopsis : Neo Andromeda harus menerima kenyataan berpisah dari cinta pertamanya, Trinity. Neo lebih memilih menerima beasiswa kuliah di Barcelona. Kota yang mempertemukannya dengan Liberty Manhattan, gadis Indonesia...