2. Misteri Liberty

13.2K 1.6K 549
                                    

Barcelona terasa hangat sore ini. Neo baru selesai menghadiri mata kuliah terakhir yang membahas sejarah arsitektur kota ini. Dia bangkit dari duduknya. Mengobrol sebentar dengan teman Spanyolnya sebelum keluar kelas.

Liberty menatap bergantian Neo dan temannya berbicara bahasa Spanyol. Dia menghela napas lega setelah tak lama kemudian Neo selesai berbincang-bincang.

"Kapan aku bisa bisa ngomong bahasa Spanyol selancar kamu?" tanyanya sambil berjalan di sisi Neo.

"Tergantung. Seberapa cepat kamu sanggup belajar bahasa asing," jawab Neo tanpa menoleh ke Liberty.

"Hei, kamu lupa ya? Aku biasa tinggal di luar negeri. Aku pernah tinggal di Jerman dan itu bikin aku bisa ngomong bahasanya. Walau, yah, memang butuh waktu lama sampai aku lancar ngomong bahasa Jerman."

Neo melirik sekilas. "Hebat, bisa bahasa Jerman. Kamu sudah pernah tinggal di negara mana saja sih?"

"Lima tahun di Manhattan, enam tahun di Indonesia, tiga tahun di Jerman, lima tahun di New Zealand, dan ini tahun pertamaku tinggal di Barcelona."

Neo berdecak. "Jadi, selama delapan belas tahun, hanya enam tahun kamu tinggal di Indonesia."

"Dan itu ketika aku masih SD."

"Boleh tahu, apa sih pekerjaan ayahmu? Kenapa tugasnya berpindah-pindah ke berbagai negara?"

Liberty terdiam sejenak. "Oh, ayahku bekerja di perusahaan yang punya cabang di berbagai negara," jawabnya.

Neo memandangi Liberty hingga matanya menyipit. Jawaban Liberty itu tidak jelas, tapi dia enggan mengorek lebih jauh. Dia tidak terlalu peduli apa pekerjaan ayah Liberty.

"Aku minta tambah jam belajar bahasa Spanyol supaya aku cepat bisa," kata Liberty setelah menunggu agak lama Neo tidak bicara lagi.

"Maaf, aku nggak bisa. Waktuku sudah padat banget."

"Kamu ini, sok sibuk deh!"

"Bukannya sok sibuk. Tapi tugas kuliah kan memang banyak. Lagipula, tadi kamu bilang, kamu bisa mahir satu bahasa setelah agak lama. Santai saja, kamu punya waktu lima tahun buat belajar bahasa Spanyol pelan-pelan. Sekarang, aku mau mengerjakan tugas dari Profesor Manuel."

Liberty menoleh. "Kamu mau bikin sketsa bangunan apa?" tanyanya.

"La Sagrada Familia," jawab Neo.

"Bangunan itu rumit banget lho."

"Nggak masalah, justru itu tantangan menarik. Kamu pilih gedung apa?" Neo balik bertanya.

"Rancangan Gaudi juga. Casa Batllo'," jawab Liberty. Dia melirik Neo.

"Tapi kita nggak harus ngerjain sekarang. Profesor Manu ngasih waktu sampai minggu depan. Jadi, sekarang kita bisa jalan-jalan. Iya, nggak?" lanjutnya.

Sekilas Neo menoleh ke Liberty yang masih berjalan di sampingnya. Usul gadis itu ada benarnya juga. Setelah sibuk kuliah sejak pagi, tak ada salahnya sekarang mereka bersantai sejenak.

"Ayo!" ajak Liberty, dia menarik tangan Neo, lalu berjalan cepat, membuat Neo terpaksa harus berjalan cepat juga.

"Hei! Mau ke mana? Jangan pergi!"

Teriakan itu membuat Neo menoleh. Dua lelaki tinggi besar memandanginya dan Liberty.

Neo terperenyak, Liberty bukannya berhenti, malah melangkah makin cepat masih sambil menarik tangannya, membuat Neo terseret-seret.

"Lari, Neo! Cepat!" perintah Liberty.

"Lepaskan tanganku, Lib! Aku bisa lari sendiri," sahut Neo.

We Could Be In Love (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang