Extra Part 2 : Ada Apa Dengan Zaki?

3.3K 311 8
                                    

Hola.

Lanjutin lagi ya extra part Zaki dan Trinity. Sebenanya, ini adalah Bab 8, ketika Neo masih awal-awal berada di Barcelona. Bab ini dihilangkan di sini dan di versi novel, karena cerita WCBIL ingin fokus ke kisah Neo dan Liberty.

Tapi sekadar buat bab tambahan, nggak apa-apa ya.

Selamat baca.

Semoga suka. Kalau suka, nanti ditambah lagi extra part-nya ^_^

**===========**

Bulan kelima menjadi mahasiswa. Kesibukan kuliah semakin menyita waktu. Bagi mahasiswa baru, sangat terasa masa kuliah begitu berbeda dengan masa SMA. Apalagi untuk jurusan kedokteran. Zaki nyaris tak punya waktu luang. Begitu banyak hal yang harus dia pelajari.

"Tubuh manusia itu rumit banget, Trin. Selain aku harus hapal setiap bagian tubuh manusia sampai yang terkecil, aku juga harus tahu fungsinya," kata Zaki, saat di waktu yang semakin sempit, sesekali dia masih mengusahakan makan malam bersama Trinity.

"Iya, aku bisa bayangin rumitnya. Dulu kan pernah sekilas dibahas di pelajaran biologi," sahut Trinity, menahan kecewa. Akhir-akhir ini, beginilah yang terjadi. Saat mereka sedang bersama, Zaki malah membicarakan tentang pelajaran kuliahnya.

Zaki tersenyum. "Biologi di SMA itu belum ada apa-apanya, Sayang," katanya.

Trinity mengangkat bahu. Zaki menangkap gerakan itu sebagai rasa enggan kekasihnya menanggapi pembicaraannya.

"Sori ya, aku bahas tentang kuliah terus. Kamu pasti bosan ya? Karena sebentar lagi mau masuk ujian tengah semester, otakku jadi dipenuhi soal-soal kuliah," lanjut Zaki.

"Kadang kalo dipikir-pikir, kamu itu lebih seru waktu masih rada badung, malas belajar, sekolah cuma buat fun," sahut Trinity.

Zaki tersenyum. "Sekarang aku nggak mungkin begitu. Kuliahku nggak bisa dijalani dengan main-main. Masa kuliah memang beda dengan masa SMA."

"Yaah ... sayangnya gitu."

"Dan menurutmu, sekarang aku bosanin?"

Trinity menatap Zaki yang duduk tepat di hadapannya.

"Aku nggak bilang gitu. Aku cuma ... kadang-kadang kangen kamu yang konyol, yang menghadapi hidup dengan nyantai."

"Hm, iya sih. Akhir-akhir ini aku memang susah nyantai. Tapi aku tetap konyol kok."

"Sekarang kamu jarang gombalin aku," bantah Trinity.

Zaki tergelak. "Baru ngaku sekarang, ternyata kamu suka aku gombalin."

Zaki menghela napas. "Oke. Gimana kalo malam minggu besok kita nonton film?" katanya.

Mendadak senyum Trinity merekah. "Nah, gitu dong. Mau banget," sahut Trinity mendadak berubah senang.

Zaki tersenyum lega melihat raut Trinity berubah ceria. Mereka menyudahi acara makan malam. Zaki mengantar Trinity sampai tempat kosnya.

Esoknya di hari Sabtu, Trinity antusias menunggu kencan malam minggu nonton berdua Zaki. Sudah lama sekali mereka tidak menonton bioskop bersama. Terakhir empat bulan lalu.

Zaki berjanji akan menjemputnya pukul empat sore. Trinity sudah bersiap sejak pukul setengah tiga. Mengenakan blus pink kesukaannya, celana jeans biru dongker semata kaki. Rambutnya yang melebihi bahu dia biarkan terurai.

Pukul lima sore. Zaki belum muncul. Bahkan pesan Trinity tidak dibaca. Teleponnya tidak diangkat. Trinity mulai was-was bercampur kesal. Hingga akhirnya jarum jam dinding menunjuk ke angka 6, Trinity pun pasrah rencananya hari ini telah gagal.

Ponselnya berbunyi. Barulah Zaki menelepon. Dengan menahan kesal, Trinity menerima telepon dari Zaki.

"Halo?"

"Trin, aku mohon maaf banget. Tadi pagi mendadak aku harus ke Bandung. Ada tugas ngunjungin Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Aku dan Alex baru dapat izin mendadak. Jadi, tadi aku buru-buru berangkat. Banyak banget yang diurus aku jadi nggak sempat ngabarin kamu ..."

"Zaki, stop! Kenapa kamu langsung nyerocos nggak berhenti gitu?" potong Trinity cepat.

"Aku lagi jelasin ke kamu kenapa aku baru bisa hubungin kamu sekarang," sahut Zaki.

"Alex itu siapa?"

"Teman kuliah, satu tim buat ngerjain tugas ini."

"Terus, sekarang kamu di mana?" tanya Trinity lagi.

"Masih di Bandung. Karena itu, maaf ya, Trin. Kayaknya kita nggak jadi nonton hari ini," jawab Zaki.

"Tentu aja nggak jadi," sahut Trinity ketus.

"Gimana kalo besok? Aku usahain bisa."

"Nggak usah, Zak."

"Trin, please. Maafin aku dong."

"Kamu udah PHP aku hari ini, aku nggak mau kamu PHP lagi besok."

"Trin, aku nggak PHP. Aku benar-benar baru sempat megang HP sekarang."

"Bye, Zak," ucap Trinity singkat, lalu segera memutuskan hubungan telepon.

Entah apakah sikapnya ini tidak dewasa, yang jelas saat ini dia sedang kesal. Sudah sejak pagi dia membayangkan malam ini bisa menghabiskan waktu berdua Zaki, kekasihnya itu seenaknya saja membatalkan rencana di saat kritis.

Trinity mengganti pakaiannya, mengacak-acak rambutnya yang semula sudah dia tata rapi.

Ponselnya berbunyi. Tanda ada pesan masuk. Trinity yakin itu dari Zaki. Tapi dia masih enggan membacanya dan sama sekali tak berminat membalasnya. Dia malah mematikan ponselnya. Lalu meringkuk di kasurnya. 

Mungkin besok rasa kesalnya reda dan dia bisa memaafkan Zaki. Tapi malam ini, dia sedang ingin menumpahkan rasa kesalnya. Dia biarkan tangisnya pecah agar rasa sesak di dadanya lenyap.

We Could Be In Love (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang