Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Trinity menghela napas membaca pesan Zaki yang mengabarkan tak bisa pulang bersamanya karena masih harus mengerjakan tugas kuliah.
Trinity tak ingin menyerah begitu saja. Dia mendatangi fakultas kedokteran, walau pun menuju ke sana sangat jauh. Dia harus naik bus kampus yang beroperasi keliling kampus UI yang luas.
Sesampai di bangunan Rumpun Ilmu Kesehatan, Trinity menuju fakultas kedokteran. Berharap menemukan Zaki yang mungkin sedang duduk di salah satu kursi, memangku laptopnya, sibuk mengerjakan tugas.
Namun yang dilihat Trinity tak sesuai harapannya. Dia sedang menyusuri lorong saat salah satu pintu ruangan terbuka. Muncul Zaki dan Alex berjalan keluar sambil saling berbincang.
Lalu tiba-tiba Alex berhenti, menahan Zaki untuk berhenti juga. Kemudian Alex mengusap pipi kanan Zaki dengan jari-jari tangannya. Trinity tercengang melihat adegan itu.
"Zaki, kamu udah janji. Kenapa nggak kamu tepati?" ucapnya dengan suara bergetar. Jaraknya hanya beberapa langkah dari Zaki dan Alex.
Zaki yang semula masih memandang ke arah Alex, refleks menoleh. Alisnya terangkat tinggi. Dia terkejut bukan main melihat Trinity berada di depannya, sedang memandanginya dengan wajah sedih. Zaki menepis tangan Alex, lalu bergegas mendekati Trinity.
"Trin, apa yang kamu lihat tadi nggak seperti yang kamu kira," ucap Zaki.
"Memangnya apa yang aku kira?" Nada suara Trinity terdengar sinis.
Zaki melirik Alex yang masih mematung memandanginya, dia menarik tangan Trinity, membawanya menjauhi Alex beberapa langkah.
"Alex mengusap pipiku katanya ada percikan darah di pipiku. Kami baru selesai meneliti dan mempelajari darah," kata Zaki menjelaskan. Dia yakin jaraknya cukup aman, Alex tak bisa mendengar suaranya.
Trinity menatap Zaki tajam. "Belum lama kamu janji, akan mencari teman lain buat ngerjain tugas bareng." Trinity mengingatkan.
"Trin, kali ini kelompoknya ditentukan dosen. Aku nggak bisa mengelak terpilih satu tim bersama Alex." Zaki menjelaskan lagi.
"Apa aku harus percaya begitu aja penjelasan kamu?" Trinity masih terdengar sangsi.
"Itu yang sebenarnya terjadi, Trin. Aku nggak ada perasaan apa-apa sama Alex," katanya menegaskan.
"Tapi Alex kelihatannya suka kamu. Cara dia mengusap pipimu tadi mesra sekali. Sambil tersenyum dan menatapmu penuh perhatian. Tiap kali dia bersikap akrab ke kamu, kamu nggak nolak dia. Lama-lama dia ngira kamu juga suka sama dia."
Zaki menghela napas. "Oke, aku akan tegaskan ke Alex, jangan suka aku karena aku udah punya pacar," katanya.
"Buktiin aja kata-kata kamu, Zak. Buktiin kamu memang benar nepatin janji. Permisi. Aku pulang duluan," sahut Trinity, dia berbalik.
Zaki menggenggam pergelangan tangan Trinity, mencegah gadis itu melangkah.
"Trin, tolong percaya aku. Hubungan itu harus bisa saling percaya. Kalo kamu mencurigai aku terus, artinya kamu nggak yakin sama aku. Dan itu nyakitin," kata Zaki.
"Aku butuh bukti, Zak, bukan janji. Bukti kalau kamu memang bisa dipercaya," balas Trinity, dia menarik tangannya dari pegangan Zaki. Zaki melepaskan genggamannya. Kesabarannya mulai terusik. Dia biarkan Trinity pergi meninggalkannya. Perasaannya mulai berubah kesal.
Alex mendekatinya. "Pacar kamu ngambek lagi?" tanyanya.
"Gara-gara kamu," sahut Zaki tanpa menoleh ke Alex.
"Kok gara-gara aku? Pacar kamu yang terlalu posesif. Seharusnya dia nggak boleh masuk sini. Ini daerah fakultas kedokteran. Seenaknya aja anak fakultas lain masuk ke sini."
Barulah Zaki menoleh ke Alex.
"Aku tegaskan ya, Lex. Jangan pernah menyentuhku lagi. Jangan menghapus kotoran di wajahku atau apa pun itu. Jangan terlalu dekat denganku. Kita cuma teman kuliah. Tolong jaga jarak."Wajah Alex berubah gusar. "Memangnya aku sengaja nyentuh kamu? Tadi itu refleks karena ada segores sisa darah di pipimu. Aku juga malas dekat-dekat kamu. Cowok malang yang punya cewek terlalu posesif, tukang curiga dan hobi ngambek. Heran, cewek manja kayak gitu kok disukai," balas Alex dengan nada sinis. Lalu berjalan cepat meninggalkan Zaki.
Zaki hanya bisa tertegun. Kemudian dia menggeleng-geleng. "Perempuan. Bikin pusing aja," gumamnya.
Untuk sementara dia harus menyisihkan dulu pertengkarannya dengan Trinity. Tugas kuliahnya harus diselesaikan secepatnya.
***
Trinity mengempaskan tubuhnya di kasurnya yang tergeletak di lantai tanpa tempat tidur. Dia baru selesai mandi dan mendadak enggan makan malam. Untuk yang ke sekian kali muncul lagi ingatan adegan yang tadi dilihatnya.
Alex dan Zaki berdiri terlalu berdekatan, cara Alex menatap Zaki, mengusap lembut pipi kekasihnya itu. Siapa yang bisa menjamin hal seperti itu tidak sering terjadi?
Trinity menghela napas. Memikirkan lagi apakah sikapnya tadi terlalu berlebihan. Dia mengerjap, masih yakin dia tidak salah. Alex memang patut dicurigai dan diwaspadai.
Biarlah saat ini dia ingin mendiamkan Zaki selama beberapa saat. Biar kekasihnya itu serius menjaga diri dari gangguan Alex.
Dia melirik ponselnya. Sudah hampir empat jam berlalu sejak kejadian tadi sore, tapi Zaki belum juga mengirim pesan. Tak ada usaha Zaki untuk membujuknya berbaikan. Dia kesal, menilai kekasihnya itu tidak peka. Harusnya Zaki mengajaknya makan malam untuk menebus kesalahannya.
Trinity bertekad tak akan mengirim pesan lebih dulu. Dia akan menunggu Zaki yang menghubunginya.
**==========**
Lanjut lagi ya extra part tentang Zaki dan Trinity. Ini sebenarnya part 10 di WCBIL, tapi untuk versi novel dihapus karena cerita WCBIL mau fokus dikisah Neo dan Liberty. Untuk yang nanyain lanjutan cerita Neo dan Liberty, udah nggak ada lagi ya di wattpad. Ini cuma extra part tentang Zaki dan Trinity.
Semoga ada yang suka baca kisah mereka ^_^
Salam,
Arumi
KAMU SEDANG MEMBACA
We Could Be In Love (SUDAH TERBIT)
Teen FictionSekuel "Listen To My Heartbeat" Sinopsis : Neo Andromeda harus menerima kenyataan berpisah dari cinta pertamanya, Trinity. Neo lebih memilih menerima beasiswa kuliah di Barcelona. Kota yang mempertemukannya dengan Liberty Manhattan, gadis Indonesia...