Bag. 3 Hal. 2

6 0 0
                                    

Kami telah menelepon Rama tadi untuk sesegera mungkin datang ke rumah sakit tempat kak Nana dirawat karena dikampus tadi ia ada urusan dengan counter Hp untuk berhenti menjadi agen penjual pulsa karena kini kami telah mendapatkan full beasiswa. "Tapi, ditunggu-tunggu belum datang juga ni anak". Ucapku ngedumel dalam hati. Bahkan setelah bernyanyi pun, belum ada salah satu yang datang. Dengan perut keroncongan dan badan melemas, kami berdua saling bahu membahu dan berkata.

"Bep, kamu mau gak nemenin aku kalau aku sakit kayak gini?" Ucap Rona padaku.

Sejujurnya aku terkejut secara tiba-tiba Rona berkata seperti itu padaku, sepertinya sore hari yang dimana langit mulai menjingga dengan perut kelaparan ini telah membuat kami menjadi melankonis satu sama lain. Tentu saja aku menjawab nya dengan penuh janji kesetiaan kepada satu-satunya sahabat yang kupunya, selain Rama. Rona benar-benar bukan hanya teman pertama, tapi juga menjadi urutan pertama daftar orang terpenting dalam hidupku.

"Janji bep, kamu mau nungguin aku?" Tanya nya lagi padaku.

"Janji, kenapa bep? Jangan bilang gitu, dong... aku jadi sedih kalau hal itu sampai terjadi." Jawabku terbawa suasana.

Dia hanya senyum kecil dan kami makin mengantuk karena sepinya diruangan itu, kak Nana belum tersadar juga, bibi yang daritadi sudah pergi juga belum kembali. Tiba-tiba sebuah bunyi pintu terbuka sedikit, semacam tertiup angin, begitu pelan sekali pintu itu terbuka, membuat kami berdua termenung kebingungan disofa tempat kami duduk di pinggir tembok . Setelah menoleh lebih dekat, barulah kami tahu, ternyata itu Rama. Sambil menyipitkan mata aku mengatakan.

"Gak nerima sumbangan, kek!" Ledekku padanya.

"Wahh, permisii, gimana gimana, kak Nana mana?" Katanya seperti biasa yang entah basa-basi atau emang serius tulalit alami.

"Itu kek! elo bawa makanan gak?" kata ku berharap dia membawa sesuatu yang bisa dimakan.

"Owalaa, ndak lah, wong aku aja udah gak inget mau makan atau minum, muacet! eh mau tau berita bagus, ndak?" Ucapnya dengan logat khas nya yang sudah tercampur-campur dengan segala bahasa.

"Apasih lo? Geje pasti." Jawabku jutek.

"Wenak aja! Ndak, aku tadi ketemu bapak-bapak baik banget dijalan, pas habis bensin banget aku gak sadar, kebetulan bapak-bapak itu baik mau nolongin dorongin motorku sampe pom bensin, loh! Terus dibayarin lagi." Katanya bercerita singkat tentang perjalanannya tadi ketika hendak menuju kemari.

"Oh pantesan lama, yaa emang elo tuh cocoknya derek motor butut lo itu daripada naikin." Balasku bercanda sambil meledeknya sedikit.

Jangan heran ya kalau kami berdua memang sudah sering seperti ini. Rama juga kadang meledekku balik walau tetap saja ledekanku yang paling top.

"Enak aja! Bener-bener... itu bukan motor butut, itu antik." Balasnya membela motornya.

Sejujurnya memang motor yang dipakainya sudah agak usang seperti jarang di cuci, terlihat berat dan besar, juga modelnya sudah tua, bahkan terkadang berasap. Tak heran terkadang dalam hati aku selalu mengucapkan kata cocok sekali dengan orang yang menggunakannya.

"Lagian kenapa juga itu si bapak-bapak baik ma elo?" Tanyaku yang heran dengan ceritanya barusan.

"Eits, denger dulu.. Ternyata itu temen kantor bapakku, tapi aku udah ndak pernah inget lagi apa iya ya pernah ke kantor bapakku dulu..?" Tanya nya kepada diri sendiri.

"Beuh, kakek-kakek bener lu memorinya." Balasku bercanda lagi.

Tiba-tiba dari kejauhan, Rona melihat mata kak Nana terbuka, disaat kami sedang saling bercanda, Rona langsung memberitahu kami.

AROMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang