Part. 3 Hal. 8

4 0 0
                                    

Sepanjang jalan, ibunda kak Nana menanyakan tentang jurusanku, dan tentu tentang klub paduan suara. Dari pembicaraan ini, aku dapat menilai bahwa orang tua nya tidak terlalu dekat kak Nana maupun kak Hegia, sebab, banyak kegiatan-kegiatan mereka berdua yang tidak diketahui nya. Bagaimana bisa ada orang tua yang selama ini tidak peduli tentang kegiatan anaknya, bahkan ketika kuberitahu saja, dia hanya mengangguk sekadar ingin tahu saja. Ibu ini benar-benar dingin, kupikir, kasihan sekali kak Nana mempunyai orang tua sedingin ini, ditambah menahan penderitaan yang menyiksa tanpa seorang pun yang memotivasinya, benar-benar hebat kak Nana.

"Tante, sepertinya kak Nana membutuhkan seseorang yang dapat memotivasinya agar tetap kuat menjalani penyakit yang di deritanya." Ucapku untuk memancing kesadaran ibunya agar tidak terlalu dingin kepada anak-anaknya.

"Saya sibuk sekali, mana? Apa sudah sampai ke gedungnya?" Jawab nya.

Jujur, aku agak kecewa dengan jawaban itu, seperti ibu tiri saja. Aku benar-benar ingin marah, ingin meledak, kenapa reaksinya hanya itu saja, namun, aku sadar, demi menjaga moral, aku tidak boleh ikut campur sedalam itu, yang penting aku sudah menyampaikan hal benar, untuk membantu kak Nana mendapatkan kehangatan orang tuanya. Karena aku ini tipe orang yang perasa, sehingga perasaan kak Nana saat ini benar-benar sampai ke hatiku, rasanya pastilah pedih.

"Sudah sampai tante." Kataku padanya.

"Terimakasih, ya!" Ucap ibunya dan langsung berbicara dengan orang-orang yang berada di prodi.

Dari kejauhan, aku bertanya dengan nada keras karena ia sudah melangkah jauh dariku.

"Tante! Bolehkah saya ikut dengan tante ke rumah sakit habis dari sini?" Teriakku penuh harap.

Ternyata ia tak menjawab pertanyaanku, aku jadi gugup sendiri, badan bergetar, benar-benar dingin sekali, aku membayangkan kak Nana yang sehari-hari berbicara dengan ibunya sendiri, mungkin merasakan hal yang sama sepertiku. Ketidak hangatan yang diberikan, membuat kak Nana tidak mungkin tidak haus akan kasih sayang yang selama ini di sia-sia kan oleh kedua orang tuanya. Dalam tubuh yang masih berdetak-detak jantungnya, tiba-tiba Rona dan Rama memanggil sambil menyentuk kedua pundakku.

"HEY! Lagi ngapain" Ucap Rona mengejutkanku.

"Duhh, aku sampai kaget, lho!" Balasku sambil mengelus dada.

"Eh, itu ibunya kak Nana!" Kataku menunjukkan pada mereka berdua.

"Oh, iya?" Balas Rama seperti biasa, selalu kelinglungan.

"Bep, tadi kita ketemu kak Hegia, ngasih tau sekarang kak Nana udah dipindahin ke kamar biasa." Ucap Rona bahagia mendengarnya.

Tentu, aku juga senang sekali, artinya kak Nana sudah mulai membaik dan tidak bertambah siksaanya memakai alat-alat berat di ruang ICU itu. Berarti, kami siap berangkat hari ini ke rumah sakit untuk menjenguk kak Nana lagi.

"Bep, gue ada perlu mo ngumpulin tugas doang sekarang." Kata Rona agak sedih.

"Ok, gak apa-apa bep, tadi udah nanya ke tante itu, moga aku diajak ke rumah sakit, lo jemput gue, ya." Ucapku meminta Rona menjemputku.

"Siap, bep." Balasnya berpamitan kembali lagi masuk kelas dengan Rama.

Hanya beberapa menit sejak ibunya kak Nana berbicara dengan prodi, lalu, tibalah keluar dari ruangan ibu itu dengan jalan sangat terburu-buru.

"Tante! Apakah tante mau ke rumah sakit?" Tanyaku sekali lagi karena merasa pertanyaan tadi belum sama sekali terjawab.

"Maaf ya, dik. Saya tidak bisa kerumah sakit, saya harus mengerjakan pekerjaan." Jawabnya dingin dan terburu-buru.

"Loh, tante, dari kemarin saya dan teman-teman saya tidak melihat satupun orang tua kak Nana yang datang? Kenapa?" Tanyaku benar-benar sedih.

Aku mulai memanas, mengapa bisa seorang ibu tega tidak mau melihat kondisi anaknya sekarang, bahkan pekerjaan lebih mahal harganya daripada anak.

"Saya sudah bilang, saya sibuk, sudah ya!" Katanya menjawab pertanyaanku.

"Tidak! Tidak boleh seperti itu tante, kalau seorang ibu menyanyangi anaknya, bahkan ia rela menggantikan nyawa nya saat anaknya hendak ditabrak oleh truk. Mengapa tante tidak izin dari pekerjaan tante?" Ucapku mulai sedih bercampur marah.

Gawat!. Ucapku dalam hati. Emosiku mulai tidak terkontrol. Kalau seperti ini duteruskan, bisa-bisa tumpah semua. Aku benar-benar tidak bisa menahan emosiku lagi. Kulihat Rama sudah memegang pundakku tanda supaya aku tidak berkata lebih jauh.

"Kamu jangan ikut capur!" Katanya membentakku.

Hatiku seperti menciut, jantungku berdetak kencang tidak terkendali, bibir ini kering dan gemetaran dibuatnya. Tapi, tetap saja aku ingin menyampaikan hal ini, aku merasa bahwa ini hal penting, menyangkut hidup dan mati seseorang.

"Tante tidak tahu, kan? Sekarang kak Nana ada diruang apa?" Tanyaku sekali dengan tenang.

Ia menjawab sambil menoleh kearahku.

"Saya ibunya, tidak mungkin saya tidak tahu anak saya ada dimana, saya yang membiayai semua keperluannya juga biaya rumah sakit! Saya yang berada dibalik segala kenikmatan dan fasilitas mewah yang anak-anak saya miliki." Jawabnya kepadaku.

"Baiklah, kalau begitu kenapa tante tidak menjawab nya saja? Ada dimana dan rumah sakit apa kak Nana dirawat? Apa nama penyakitnya? Berapa lama ia menderita penyakit berat seperti ini? Betapa ia merindukan kehangatan orang tuanya." Kataku mengeluarkan semua unek-unek yang ada didalam pikiranku.

"Kamu tidak usah so' pintar pada saya! Nana ada di RS. Ruang ICU!" Jawabnya.

"Salah! Tante tidak tahu, khan, sekarang kak Nana sudah dipindahkan ke kamar biasa? Bahkan nama rumah sakit nya saja tidak tante sebutkan. Apakah tante sebagai ibu kandungnya benar-benar tidak malu telah melakukan sekejam ini?" Kataku sambil mengeluarkan air mata.

Ternyata ia malah jalan terus, tanpa kata. Aku tidak bisa berhenti begitu saja sedangkan kak Nana disana tergeletak lemah dengan jutaan impian yang isinya hanya ingin mendapatkan belaian sang ibu.

"Tunggu! Lupakan semua fasilitas mewah yang tante berikan kepada anak-anak tante! Anak itu hanya membutuhkan kasih sayang, dan kehadiran kedua orang tuanya." Teriakku padanya.

AROMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang