Bag. 3 Hal. 10

3 0 0
                                    

Aku bangkit dan menyeka air mataku dengan kedua tanganku. Rona dan Rama telah selesai mengumpulkan tugasnya dan kembali lagi kearahku lalu membantuku berdiri, mungkin mereka melihat kejadian terakhir dalam pembicaraan kami. Kami bertiga saling diam sambil berjalan keluar gedung. Tentu saja kami speechless sekali setelah mendengar ucapan itu. Dirumah, aku anak paling dimanja dari adikku, itu karena aku tidak bisa beladiri, sedangkan adikku mahir sekali beladirinya, atau mungkin itu karena aku adalah anak pertama? Biasanya, sih... kata orang, anak pertama itu masih nyoba-nyoba, hahaha. Rona juga merupakan anak tertua yang selalu ditanyai setiap pulang terlambat, begitu pun dengan Rama, saking baiknya orang tua nya hingga tahun ini dia diperbolehkan mengulang kuliahnya dari awal, itu karena Rama anak semata wayang. Wajar ketika mengetahui ada keluarga yang ceritanya seperti ini membuat kami berpikiran berlebihan dan benar-benar menyangka sangat tidak adil bagi anak. Semua anak menginginkan bersama keluarga yang akur dan damai. Kehangatan yang diidam-idamkan oleh seorang anak adalah ketika orang tua ada saat berbagi suka dan duka. Tapi, kini aku bisa merasakan perihnya perasaan kak Nana selama ini. Syukurnya ia tidak menghadapi guncangan mental yang menghilangkan akal sehatnya. Karena keramahan dan kebaikannya lah yang telah membuat aku, dan Rona menjadi sangat empati kepadanya.

Duduklah kami dibangku kantin pojok arah selatan dengan wajah masam habis menangis. Sambil menahan rasa lapar, kini aku hendak melanjutkan pembicaraanku tentang ibunda kak Nana yang yang tadi kepada Rona, tapi syukurlah Rama menghentikan dengan menyuguhkan cerita konyolnya duluan yang membuat kami semua lupa akan apa yang barusan terjadi. Ketika suasana berganti menjadi gelak tawa meledek Rama yang tulalit, barulah aku semangat kembali. Tiba-tiba saja rasa laparku kembali ke perut, tak segan-segan aku membeli makan siang 4 sehat 5 sempurna yang lauknya tidak ayam atau mie saja, tapi sayur, telur, susu, daging, semua aku beli karena saking kelaparannya.

"Waaah Aline tanggal muda, ya?" Ucap Rama padaku.

"Iya gue masih muda, elo udah tua!" Balasku padanya.

Hahaha, sepertinya Rama mengkode terus agar aku membelikannya makanan pula. Disaat makan siang itu, kami kembali mengobrol-ngobrol seputar kejadian tadi saat di gedung fakultas bisnis gara-gara Rama nanya pertanyaan retorik lagi.

"Tapi lin, mamanya kak Nana masih muda ya? Kayak mahasiswa." Ujarnya padaku.

"Iye, gue juga sama mikir gitu, tapi ya gak kayak mahasiswa lah, malah kayak ibu-ibu kantoran banget." Balasku padanya.

"Ah, moso? Ndaklah, mana ada ibu-ibu kantoran pake tas ransel." Jawabnya padaku.

Sebenernya Rama ini salah lihat atau engga, sih?

"Eh lo salah liat! Bukan yang itu, ibunya pake setelan kantor." Balasku jutek. Dan Rama mulai kembali menggaruk-garuk kepalanya. Ah, sudah biasa dia seperti itu, pikir kami.

Selesai makan siang, mereka berdua harus kembali lagi ke kelas sampai sore. Anggap saja hari Kamis ini merupakan hari keberuntunganku karena biasanya setiap kamis, aku dan Rama jarang bertemu karena bentrok nya jadwal kuliah kami, sekaligus hari menyedihkan bagiku karena mengetahui cerita sebuah keluarga dari salah satu kakak favoritku. Aku mengantarkan Rona dan Rama ke kelas jadwal siang mereka, lalu melambaikan tangan dari dalam kelas. Kalian tidak tahu betapa beruntungnya aku bertemu kalian saat pertama kali hingga kini aku bisa menyatu dengan orang-orang seperti kalian berdua. Ucapku dalam hati. Aku bersyukur sekali memiliki sahabat-sahabat indah seperti mereka. Ada dikala apapun kejadian yang meresahkan, maupun disaat membahagiakan. Sambil berjalan kearah luar kampus, aku memikirkan bagaimana wajahku saat ini. Aku belum sempat pergi ke toilet dan membasuh wajahku dengan air.

"Huff, pasti mukaku kacau!" Keluhku sambil menekukkan dagu.

AROMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang