Bag. 3 Hal. 15

3 0 0
                                    

"Halo!" Jawabku kepada panggilan masukku.

"Lin, kita mau kerumah sakit, udah keluar nih, emang hari ini agak cepet soalnya dosen......" Ucap Rama padaku seperti biasa dengan panjang lebar.

"Iya-iya, cepet ya! Aku lagi buru-buru juga nih." Ucapku padanya sambil memotong pembicaraan Rama yang muluk-muluk, pusing aku mendengarnya.

"eissss, yawda, minta nama ruangan nya kak Nana yang kamar baru?" Tanya nya padaku.

"OH! Kalian langsung aja ke ruang UGD ya!" Kataku sambil mematikan telepon.

Mereka kebingungan sebenarnya dan sedikit khawatir, kenapa sekarang di ruang UGD?

Sampailah aku di kamar tempat kak Nana dirawat sekarang, kebetulan kak Nana sedang duduk di kasur nya sambil menggambar beberapa bunga yang baru saja digambarnya. Aku langsung memberitahukan padanya kondisi ayahnya sekarang. Ia menangis spontan air matanya keluar, mungkin tanpa ia sadari. Dia sudah tidak sabar lagi ingin ke ruangan ayahanda nya, aku membantu kak Nana menaiki kursi roda lalu kami berangkat ke ujung utara ruang UGD tempat dimana ayahnya sedang dirawat barusan. Sambil menangis tersedu-sedu sepanjang jalan, sedikit tidak tega aku melihatnya, pelan tapi pasti aku membantu kak Nana mendorong kursi rodanya. Sampailah kami di ruang UGD, dan masuklah kami kedalam. Dengan wajah kak Nana yang memerah itu, bertemulah dengan wajah ayahnya yang tengah terbaring di kasur putih dengan dipasangkan segala alat-alat medis yang kini menjadi penghalang nya untuk saling berpelukan. Seketika mereka bertemu seperti telah lupa akan penyakit yang diderita masing-masing. Suara mereka yang saling memanggil dan jatuhnya setetes demi tetes air mata, seakan menunjukkan padaku bahwa obat yang paling ampuh adalah pelukan antar sesama anggota keluarga yang tulus, saling sayang menyayangi, memberi tanpa pamrih, dan memberi ggenggamkan tangan yang penuh kehangatan setelah selama ini hilang entah kemana. Seakan rasa itu kembali seperti sulap, yang dimana... mungkin, dipikiran kak Nana sudah mustahil lagi berharap sebuah keajaiban seperti ini hadir dalam kehidupan masa depannya. Merasa terbayar puas akan kerinduan yang terpendam. Mereka kini saling bertanya satu sama lain, dan menceritakan hal-hal yang terjadi selama penantian yang panjang selama ini. Sejak 4 tahun silam kejadian yang sangat tidak diinginkan itu telah memisahkan anak dengan ayah kandungnya, semula, mereka sering sekali bertemu, memang sejak pertama kali memasuki masa perkuliahan, kak Nana menjadi jarang menemui ayahnya karena permintaan ayahnya sendiri yang tidak ingin membuat anaknya khawatir akan penyakit yang diderita ayahnya selama ini. Gagal ginjal kronis salah satu penyakit yang di derita oleh sang ayahanda tidak sedikitpun diketahui oleh kak Nana. Kerap mencuci darah setiap satu bulan sekali, namun setelah itu ayahnya menolak karena mantan istrinya menanyakan uang bulanan Hegia yang terus-terusan habis. Kak Nana pun disibukkan kesehariannya dengan kegiatan kampus seperti klub paduan suara yang kami bertiga juga geluti. Hingga akhirnya rasa pahit dan rindu itu memupuk dan sudah saat nya meledak karena tidak mampu menopang beban lebih banyak lagi. Alasan sang ibu menggugat cerai karena masalah ekonomi yang melanda keluarganya bertahun-tahun. Sang ayah tak bisa menafkahi selain kurang dari yang dibutuhkan karena seringnya jatuh bangun sakit lalu kemudian mendapat PHK dimana-mana. Sang ibu kesal setiap kali mendapati berita yang

AROMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang