Pintu yang Terbuka (4)

1.4K 253 11
                                    

Fajar, Rian, dan Eri sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit tempat Eri bekerja. Membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mencapai rumah sakit tersebut karena jaraknya yang jauh. Bukan masalah bagi Rian, karena itu berarti ia masih diberi waktu untuk mempersiapkan diri sebelum bertemu dengan ibu dari anak-anak mereka. Rasa cemas mulai menyelimuti pria berkulit putih susu. Khawatir tidak berhasil memenangkan hati sang ibu dan gagal untuk menggunakan satu-satunya kesempatan untuk memiliki momongan.

"Dia biasanya check up siang"

Helaan napas panjang terdengar dari Rian. Fajar yang sedang berkonsentrasi mengendalikan mobil merapal doa dalam hati. Eri bisa membaca suasana yang terlampau canggung sejak mobil Fajar membawa mereka keluar kawasan mall.

"Santai aja, jangan kaku-kaku banget. Nanti malah jatohnya canggung. Insya Allah, dia milih kalian"

Ketiganya mengucap 'amin' dalam hati masing-masing. Tidak lama kemudian, sebuah gedung rumah sakit ibu dan anak mulai terlihat. Roda kemudi dibelokkan Fajar ke arah gerbang masuk yang langsung menuju lapangan parkir. Pintu mobil dengan lekas Eri buka. Tombol pada kunci mobil ditekan oleh Fajar setelah memastikan mobil tak lagi berpenumpang.

"Kalian nanti tunggu dulu ya. Di dalem ada kantin kok. Jadi kalo laper kalian bisa makan sambil nunggu."

Rian mengangguk singkat. Kedua netranya tertuju pada tas tenteng di tangan Eri yang ia yakini berisi seragam perawat dan keperluan Eri yang lain. Langkah kaki Eri dipercepat memasuki gedung dengan pintu geser otomatis itu. Sesuai dengan perintah Eri, Fajar dan Rian langsung menghampiri barisan kursi yang diperuntukkan untuk pengunjung rumah sakit. Rian memilih untuk mengistirahatkan diri dengan duduk selagi menunggu. Istirahat? Iya, Rian terlalu lelah mengontrol detak jantungnya sendiri. Fajar yang masih berada pada kakinya mendekatkan diri pada Rian. Membelai rambut Rian lembut, berusaha membuatnya tenang. Sepertinya cara Fajar berhasil. Karena kini Rian dengan santai menyandarkan kepalanya pada paha Fajar. Tetapi ketenangan itu tidak berlangsung lama saat Rian melihat Eri keluar dari sebuah ruangan dengan penampilan berbeda. Blouse batiknya sudah berganti dengan pakaian serba putih. Dandanannya pun terlihat lebih segar.

"Dia udah ada di ruang check up sama dokter. Nanti kalo udah beres, gue bawa dia buat ketemu kalian. Oh iya, kalian ngobrolnya mau di kantin aja?"

Ibu jari Eri menunjukkan arah lokasi kantin yang ternyata masih bisa dijangkau oleh pandangannya.

"Iya ri, di kantin aja. Rian kayaknya juga udah laper nih sekalian makan siang"

Cubitan pelan dirasakan Fajar di bagian perutnya. Eri mendenguskan tawa sebelum berlalu meninggalkan pasangan atlet ganda putra di dalam dan luar lapangan tersebut.

-

Fajar dan Rian sedang menikmati makan siang mereka di kantin rumah sakit. Rian yang sudah merasa lebih tenang dan kenyang karena suguhan bakso urat di hadapannya kini sedang asyik bermain dengan game kegemarannya. Netranya benar-benar terpaku pada layar ponsel hingga suaminya sendiri dianggurkan. Ngomong- ngomong soal suami, pria yang duduk di seberang Rian terlihat lebih gusar. Seakan rasa cemas Rian diserap habis olehnya. Sisa mie ayam pangsit dalam mangkuk hanya ia mainkan dengan garpunya. Menari di atas mangkuk tanpa berpindah tempat. Keheningan di antara mereka menyadarkan Rian akan hal itu. Layar ponselnya pun ia kunci untuk memberikan semua perhatiannya pada Fajar.

"Mas kenapa? Masih laper?"

Kepala Fajar yang sejak tadi tertunduk lantas terangkat. Senyum kikuk terlukis di wajahnya disertai sebuah gelengan. Mie ayam yang masih meliliti gigi garpu akhirnya ia jejalkan ke dalam mulutnya.

"Kok dari tadi diem? Mas Fajar kenapa cerita aja sama aku"

Rian menumpukkan tangannya di atas tangan Fajar yang jelas-jelas berada di atas meja. Persetan dengan pandangan orang lain, Fajarnya jauh lebih penting.

More Than Friends? [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang