"Hanya sekali, tetapi setelahnya semua berubah.
Coba katakan, mengapa?"
***
Saat itu, riuh mendominasi suasana di pusat kota. Orang-orang bertebaran di muka jalan. Tak sedikit pun ada yang menghiraukan sosok mungil berkaus lusuh. Gelapnya malam telah sempurna melahap sang gadis berbaju abu-abu, di pinggir trotoar.
"Kak Tania ...," lirihnya memanggil si sulung, pegangan terkuat selama ini.
Dia tahan gejolak bulir hangat di pelupuk mata. Takut menggerayangi hebat rasa di dada. Terlalu jauh ia berlari, terlalu nekat usahanya melindungi diri. Menaiki mobil bak terbuka lalu terdampar di tengah kota asing.
Menengadah, wajah lugu menatap purnama. Malam seakan memeluk dan mengikat. Mempertegas bahwa saat ini dirinya tengah sendirian. Jauh dari keenam saudari angkat, jauh dari sosok-sosok berharga.
Dia membalikkan tubuh. Menatap jalan raya yang mungkin baru saja dia lewati. Jika kembali, maka ia harus menghadapi neraka lagi.
Berbalik, memandangi trotoar. Banyak pasang kaki menjejaki. Jika terus berjalan, maka dia akan semakin jauh dari keenam saudari.
Terpejam, kelopak mata menarik gelap. Seharusnya perpisahan ini tidak ada. Bukan ini rencananya.
Tiba-tiba sosok jangkung menyenggol, mengantar limbung dan menarik jatuh. Namun, tersangka tidak berniat menolong. Begitu saja dia berlalu.
Baiklah, aku tidak butuh pertolongan, tekan korban dalam hati.
Bangkit, menepuk kotor di tangan dan di celana coklat. Kehidupan masih tetap harus berjalan. Putus asa bukanlah hal yang diajarkan keenam saudari. Oleh sebab itu, hal gila dan nekat tertuang dalam rencana.
Berbekal keyakinan, sepasang kaki membelah ramai. Mencoba mencari celah untuk menyambung kehidupan.
"Apa aku harus mengamen?" tanyanya pada diri sendiri, saat perut mulai berdemo meminta asupan. Ia perbaiki ikatan rambut yang mulai kendur. Peluh jelas mengilap, menyatu dengan debu dari kendaraan.Lalu, sesuatu terjadi di sebrang jalan.
"WOI! MAJU LO!" teriak sekumpulan remaja berseragam SMA. Beberapa dari mereka mengacungkan senjata tajam berbentuk Bulan sabit.
"SERANG!" timpal sekelompok remaja SMA lain, dari arah berlawanan.
Seketika, puluhan siswa SMA silih menyakiti. Batu, parang, golok, ikat pinggang, dan tongkat kayu mereka gunakan untuk melukai lawan.
Memang ramai. Seisi kota mendadak gempar. Berseliweran berusaha menghindar. Namun, bagi gadis mungil dengan kaus abu-abu, para remaja gila di hadapan tidaklah lebih dari sekadar pengecut.
Mereka memang silih menghajar, tetapi lihatlah! Tangan kanan memukul lalu kaki bergerak berlari. Batu dilempar lalu ia sendiri bersembunyi di balik tubuh teman. Apa namanya jika bukan tindakan pengecut?
Hari ini, usia sang gadis mungil genap berusia sepuluh tahun. Dia hanya berdiri angkuh di bawah naungan halte bus. Manik hitam pekat begitu asyik memperhatikan keributan para remaja salah arah.
Sejak dulu, ia begitu menggemari film aksi di layar tv. Dan hari ini, si mungil tidak berniat melewatkan kesempatan melihat secara langsung: aksi pertumpahan darah di tengah kota Sukabumi.
Namun, ternyata ekspektasi tinggallah ekspektasi. Yang tampak bukannya gerakan cepat bela diri Jacky Chen, atau kelihaian Ip Man, apalagi gerakan tegas Bruce Lee. Mereka benar-benar amatiran.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dian
Teen FictionTAMAT. __________________ Purnama memisahkan. Tinggallah kaki menapak sendiri. Limbung di atas terjal Bumi mendingin. Kenali, tetapi jangan mengasihani. ---------------------------- (UPDATE SETIAP HARI RABU) ____________________________ #Kolaborasi7...