13. Berharga

244 28 8
                                    

"Jangan menghardik luka. Kadang, itu yang memberimu cinta."

***

Masih pukul 3 dini hari, tetapi kondisi di dalam rumah dengan cat biru putih itu sudah hidup sejak 30 menit lalu.

"Habis ngapain, sih? Kenapa bisa sampai flu gini?" Heri membasahi kembali handuk yang ditempel di kening Dian.

"Ini gara-gara hujan," adu si gadis berpiyama merah. Dia terbatuk hebat setiap kali dirinya berusaha bersua.

"Heh, hujan itu rahmat! Mana ada rahmat yang mencelakai," sergah Ridwan--tengah bersandar pada penyanggah pintu kamar.

"Yang salah itu kamu sendiri. Udah tahu baju basah, malah dipake tidur," timpal Heri; duduk di sisi tempat tidur.

"Kalau cuma mau marahin, mending gak usah datang ke sini." Dian berbalik. Membelakangi dua pengasuh yang sudah sabar merawatnya selama 7 tahun.

"Dih, gitu aja baper." Ridwan berlalu meninggalkan.

"Kamu gak usah sekolah hari ini," kata Heri seraya bangkit ikut berlalu. Lalu, ruang dengan minim pencahayaan itu tak lagi memiliki bunyi.

"Kak Tania ...." Setitik bulir hangat lolos dari pelupuk mata pemilik suhu tinggi.

Saat sakit adalah saat di mana masa lalu menjadi kisah pengisi pikiran. Berharap itu kembali atau sekadar bisa menyapanya lagi. Menemui sosok-sosok berharga di masa lalu. Mengadu dan tersedu dalam dekapan hangat dua kakak di panti asuhan.

"Kak Mikha ...."

Dian rindu dua kakaknya yang memiliki karakter bertolak belakang itu. Ingin bertemu, tetapi bagaimana? Tujuh tahun mencari tak juga membuahkan hasil, barang sekadar kabar ataupun siluetnya saja.

Menyatukan dua tangan bersuhu tinggi, Dian memeluk diri dalam riaknya sunyi di dini hari. Sayu-sayu suara hewan malam menemani mata yang berusaha terlelap, tetapi selalu gagal. Batuk hebat menyerang setiap kali manik itu akan dilelap bunga tidur.

Sesuatu terasa menyekat dan menyiksa. Keringat dingin membanjiri dan dia benar-benar merasa gerah. Dian bangkit. Menyibak selimut, menatap jendela kaca yang sengaja tak diberi gorden.

Purnama mengingatkannya kembali pada malam itu. Malam yang telah menjadi titik awal semuanya berubah. Purnama telah benar-benar menjadi pengingat bagi sejarah yang tertoreh pada diri Dian Firdaus.

Masih menatap rembulan, Dian menitikkan air mata. Rindu dan sengsara menyeruak di dada. Seakan tidak ada duka yang lebih menyiksa dari ini.

Pening. Dian mengusap dahi, telah kuyup oleh keringat dingin. Suhu tubuhnya masih tinggi. Kepalanya terasa berat dan Dian tidak sanggup jika harus berdiri.

Kembali merebahkan diri. Gadis itu menatap langit-langit kamar, masih terlihat baru. Tak ia gunakan selimut tebal, tergulung begitu saja di bawah kaki. Manik layu sedang sibuk menyelami beribu kisah di masa lalu.

Tidak ada sejarah yang paling ia suka kecuali tentang 6 saudari di panti. Sudah banyak kisah mereka lalui bersama. Berbekal karakter masing-masing, tujuh benua menyatu di bawah atap sama. Bernaung mengukir mimpi. Bergandeng menyair kenangan.

Ah, betapa Dian merindukan masa-masa itu.

"Di, udah Subuh. Kamu salat dulu, baru lanjut tidur."

Dian menatap nanar Heri di ambang pintu. Tak merespon barang sekadar mengangguk samar. Membiarkan sosok gagah itu ditelan pintu tertutup.

Dian bangkit. Meski sakit, bersujud kepada-Nya tetaplah sebuah kewajiban. Ia juga butuh mengadu dan berkeluh kesah. Hanya Dia yang selalu bisa menjadi pegangan.

DianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang